Tak terasa puasa sudah meninggalkan kita, bahkan mengagungkan asma Allah SWT dengan takbir yang membahana di seantero jagat juga pun telah sirna, begitu pun tahmid dan tasbih yang kita gelorakan demi menyambut kemenangan juga sudah hilang dari telinga kita. Ini artinya semuanya sudah kita lewati tanpa sisa. Otak kita dibersihkan, emosi kita dicerdaskan, spiritual kita dicerahkan, dan religiusitas kita dimantapkan.
Hal itu tidak lain untuk mengantarkan kita sebagai ’insan muttaqin’ (manusia bertaqwa) dan beruntung dalam hidupnya. Sebagai indikator keberuntungan kita adalah mampu melakukan yang lebih baik daripada sebelumnya.
Idul fitri merupakan bentuk justifikasi umat Islam menikmati kemenangan, akan tetapi kemenangan yang dimaksudkan dalam Islam bukanlah kemenangan yang ditandai dengan bergantinya pakaian; baju baru, sarung baru dan semuanya serba baru, namun lebih dari itu yakni keberhasilan yang harus diperbaharui adalah kualitas keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Sebagaimana pendapat penyair yang mengatakan:
لمن طاعته تزيد ليس العيد لمن لبس الجديد وإنما العيد
Artinya: ”Idul Fitri bukanlah orang yang bajunya berubah (baru), akan tetapi Idul fitri adalah bagi orang yang ketaatannya bertambah.”
Kemudian bagaimana menentukan bertambahnya ketaatan kita kepada Allah SWT pasca melaksanakan ibadah puasa? Indikator pertama, adalah istiqomah. Nabi Muhammad SAW bersabda;
1584- عَنْ سُفيانَ بن عبدِ اللهِ - رضي الله عنه -، قالَ: قُلتُ: يا رَسولَ اللهِ، قُلْ لي في الإسلام قولاً لا أسألُ عَنْهُ أحداً غَيرَكَ، قال: (قُلْ: آمَنْتُ باللهِ، ثمَّ استقِمْ) رواه مُسلم.
Artinya: “Dari Sofyan bin Abdullah RA berkata, ya Rasulullah katakan kepadaku tentang Islam dan hal ini tidak pernah aku tanyakan kepada orang lain selain engkau ya Rasul. Nabi menjawab; “Berimanlah kepada Allah SWT dan beristiqomahlah.” (HR. Muslim)
Banyak hal yang sudah kita kerjakan di bulan suci Ramadan baik berupa perkataan, perbuatan atau pun berupa tradisi atau kebiasaan. Di bulan Ramadan umat Islam telah dipaksa untuk menghindari perkataan-perkatan jelek seperti dilarang berbohong, memfitnah, mengadu domba, mencaci maki atau bahkan sekadar iri hati.
Baca Juga :
- Filosofi Bakso di Hari Raya Idul Fitri (Bagian Satu)
- Rukyatul Hilal dan Kesunnahan Makan di Hari Raya Idul Fitri
- KH. Yazid Karimullah; Potret Pejuang Gigih dari Kota Suwar-suwir
Kesemuanya bisa diminimalisir dengan kita berpuasa. Dari sisi perbuatan, melaksanakan salat berjamaah, salat malam, membaca al-Qur’an, membantu sesama, memberikan takjil dan lain sebagainya.
Hal ini perlu kita lanjutkan pada bulan-bulan setelahnya sebagai bentuk peningkatan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Kedua, bermanfaat untuk sesama. Nabi Muhammad SAW bersabda:
861 - عَنْ عُمَرَ، أَنَّ رَجُلاً، جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ، وَأَيُّ الأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا
Artinya: “Dari Umar RA berkata, ada seseorang yang mendatangi Rasulullah SAW lalu bertanya, siapa yang paling dicintai Allah SWT? Dan perbuatan apa pula yang paling disenangi-Nya? Lalu beliau menjawab: Paling dicintainya manusia adalah mereka yang bermanfaat kepada orang lain, dan perbuatan yang paling disenangi-Nya adalah memberikan kebahagiaan kepada sesamanya, membantu kesulitannya, melunasi hutangnya dan menghilangkan kelaparan tetangganya.”
Hadits ini banyak memberikan gambaran dan contoh kepada kita untuk bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai makhluk sosial “Zoon Politicon” tentunya tidak akan sempurna dalam hidupnya tanpa ada interaksi dengan orang lain. Yang kaya memberikan sedekah kepada yang miskin, si miskin juga butuh si kaya, laki-laki butuh perempuan, sebaliknya perempuan juga butuh pemimpin laki-laki. Karena dengan saling membutuhkannya ini kehidupan manusia menjadi bahagia di dunia dan juga akhiratnya.
Alkisah pada masa Nabi Musa AS tentang suami istri yang termasuk keluarga fakir miskin. Suatu ketika ia menemui Nabi Musa AS untuk memohonkan kepada Allah SWT diberikan kelapangan rezekinya.
Singkat kata, Nabi Musa AS mendoakannya lalu kemudian Allah SWT berfirman kepada beliau: “Katakan kepada keluarganya akan diberi 7 tahun kehidupan yang serba berkelebihan dan melimpah harta bendanya, kemudian 7 tahun berikutnya keluarga itu akan hidup dalam kefakiran dan kesempitan. Tanyakan kepadanya, mana yang dipilih dahulu?”
Nabi musa AS menyampaikan firman Allah SWT kepada keluarga tersebut. Si istri menyarankan kepada suami untuk memilih kaya dulu dan setelahnya miskin.
Beberapa waktu kemudian, Allah SWT mengabulkan doa keluarga itu menjadi kaya raya. Dengan banyaknya harta yang ia miliki, ia membangun gedung dengan 4 pintu dari segala penjuru kemudian mengundang masyarakat yang tidak mampu dan semua orang yang membutuhkannya agar mereka datang untuk mengambil harta yang mereka inginkan.
Dan beberapa tahun kemudian lebih dari tujuh tahun lamanya ternyata harta bendanya masih banyak dan bahkan bertambah. Seketika itu ia melaporkan kepada Nabi Musa AS akan waktu yang diijanjikan Allah SWT.
Nabi Musa AS pun bertanya kepada Allah SWT, kemudian Allah SWT menjawab: “Wahai Musa, bagaimana mungkin aku menutup pintu rezekinya sementara dari 4 penjuru disana banyak umatku mendoakannya agar senantiasa rezeki keluarga tersebut ditambah dan dilanggengkannya. Akhirnya keluarga itu selamanya menjadi orang kaya raya berkat sedekah yang diberikan dan doa orang lain yang dipanjatkan.”
Ketiga, mensyukuri nikmat Allah SWT melalui syukur kepada sesama. Nabi Muhammad SAW bersabda:
7175- عن أَبِي سَعِيدٍ قالَ: قالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: "مَنْ لم يَشْكُرِ النّاسَ لَمْ يَشكُرِ الله".
Artinya: “Dari Abi Said RA berkata; Rasulullah SAW bersabda; Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang diberikan manusia berarti ia tidak mensyukuri nikmat Allah SWT.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Bulan Ramadan adalah bulan penuh kebersamaan. Kebersamaan ini bisa kita lihat ketika bersama dalam ibadah atau bersama dalam muamalah. Walaupun terkadang kebersamaan ini tidak hanya berdampak positif namun juga berakibat negatif. Akan tetapi, positif dan negatif atau baik dan jelek yang dilakukan orang lain kepada kita adalah ‘qudratullah’ untuk menguji manusia.
Ketika ada orang lain yang berbuat baik kepada kita maka hal itu merupakan cara Allah SWT untuk memberikan pendidikan kepada kita, agar bisa meniru atau bahkan melebihinya dan sebaliknya apabila orang lain berbuat jelek kepada kita maka sesungguhnya Allah SWT sedang menguji kesabaran seorang hamba untuk semata-mata bertujuan menaikkan derajat dan martabatnya.
Ada sebuah cerita di zaman Nabi Nuh AS. Ada seorang kakek tua renta yang ahli ibadah yang terus menerus bermunajat kepada Allah SWT. Suatu ketika kapal Nabi Nuh SWT sudah sempurna dan siap berlayar, tiba-tiba (sesuai janji Allah SWT kepada Nabi Nuh AS) datanglah banjir yang begitu hebatnya.
Lanjut Baca :
Nabi Nuh AS meminta beberapa kaumnya menyuruh naik ke kapal demi keselamatannya. Mendengar berita itu, si kakek menaiki gunung dan enggan menerima ajakan Nabi Nuh AS untuk naik ke atas perahu, si tua beranggapan bahwa hanyalah Allah SWT yang bisa membantunya “Hasbunallah“.
Sampai tiga kali Nabi Nuh AS dan suruhanya meminta si ahli ibadah itu, namun ia tetap kokoh menolak naik kapal sang nabi, sampai akhirnya ia diterjang banjir dan meninggal, sementara Nabi Nuh AS dan umatnya selamat dari kejadian banjir besar tersebut.
Setelah di alam barzah, si tua protes kepada Allah SWT, “Yaa Rabbi kenapa engkau meninggalkan kami padahal kami sudah ahli ibadah dan berdoa kepada engkau untuk diselamatkan dari banjir?” Lalu Allah SWT menjawabnya: “Tidakkah aku sudah mengirimkan 3 orang tetanggamu tapi engkau terlalu sombong kepada manusia lainnya?”
Si tua tercengang dan sedikit tidak percaya kalau 3 orang termasuk Nabi Nuh AS adalah utusan dan bantuan dari Allah SWT untuk menolongnya dan akhirnya si tua menyesal tidak mengikuti ajakan Nabi Nuh AS.
Cerita ini merupakan bukti bahwa apa yang dikerjakan orang lain kepada kita patut disyukuri karena semua yang dilakukannya adalah semata-mata datangnya dari Allah SWT yang melalui manusia.
Kesimpulannya, tugas kita belum selesai. Selesainya pelaksanaan puasa bukan berarti selesai pula tugas kita kepada Allah SWT atau pun tugas kita kepada sesama. Justru kita harus mampu mempertahankan kebiasaan-kebiasaan bulan suci itu untuk tetap dilaksanakan dihari setelahnya sebagai bentuk diterima dan tidaknya amal ibadah kita selama bulan Ramadan.
Karena indikator ibadah yang diterima adalah manakala hubungan manusia dengan Sang Pencipta atau dengan sesamanya lebih baik dari pada sebelumnya.
“Hidup kita bukanlah milik-Nya tapi hidup kita yang digunakan untuk-Nya adalah hidup kita yang sebenarnya.”
Penulis : Abdul Wasik, M. HI, Ketua Tanfidziyah MWCNU Wonosari
Editor : Muhlas
Masuki M. Astro, Donatur tetap wartanu.com |