Ahmad Suhaili, Ketua Rayon PMII Nurut Taqwa, Cermee, (Foto : Tim Kreatif) |
Buddhiyah, yang merupakan bentuk
jamak dari Buddhi (Budia atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Sedangkan secara Terminologi, budaya
merupakan hasil dari budi, daya, cipta, karya, rasa, pikiran, kebiasaanataupun
adat istiadat manusia yang dilakukan secara turun temurun dari generasi satu ke
generasi lain (Setelahnya) sebagai warisan, serta dilakukan pada momentum
tempat dan waktu tertentu.
Pada era ini, dimana globalisasi dan modernisasi tidak bisa dihindarkan bagi setiap warga
Negara. Setiap Negara selalu ingin disebut sebagai negara yang modern,
mengikuti arus globalisasi bila ingin dikatakan sebagai negara yang maju.
Baca Juga :
- Praktisi Ruqyah Aswaja Gelar Therapy Qur'any
- Ansor Pujer Gelar Pembacaan Sholawat Nariyah dan Baksos, Sekcam Beri Apresiasi
- Bentrok Dua Perguruan Silat di Banyuwangi, Ini Tanggapan Ketua PSNU Pagar Nusa Bondowoso
Modernisasi tidak terlepas dengan meningkatnya kemajuan teknologi yang digunakan, begitu juga dengan Indonesia yang telah
mencanangkan revolusi industry 5.0. Revolusi teknologi dan revolusi
digital telah merasukdalam kehidupan masyarakat.
Internet paling terasa
percepatan kemajuannya, jaringannya yang mulai 2G, 3G, 4G dan sekarang di Indonesia sudah mulai bisa akses 5G. Hal ini
tentu juga diikuti dengan kemajuan smartphone yang selalu menunjukan
kecanggihannya.
Kemajuan
teknologi memang tidak bisa dihindari. Perlahan tapi pasti sudah menjadi
bagian dari masyarakat modern saat ini. Perkembangan teknologi menyebabkan
smartphone semakin canggih dan murah yang berakibat pada banyaknya anak-anak SD/MI ataupun SMP yang sudah memiliki handphone.
Baca Juga :
- Toron Tana, Warisan Nenek Moyang yang MasihEksis di Masyarakat
- Santri Masya Allah Versus Santri Innalillah
Bahkan, tidak jarang
orang tua memberikan handphone kepada anaknya agar anaknya tidak rewel ataupun ingin menunjukan bahwa mereka adalah masyarakat modern dan bisa bergaul bersama teman sebayanya yang mengikuti
perkembangan zaman.
Anak-anak SD dan SMP sudah
pandai menggunakan smartphone mereka, dan rata-rata sikap orang tua pada hari ini seringkali
tidak memantau atau terlalu sibuk melihat handphone anaknya. Lalu pertanyaannya, dengan kondisi saat ini dengan arus Globalisasi yang
semakin pesat yang didukung dengan teknologi dan modernisasi yang semakin
cepat akankah anak-anak penerus bangsa sekarang (Milenial) mampu mempertahankah
warisan budaya leluhur?.
Atau mereka sama sekali abai dan bahkan apatis terhadap
warisan budaya leluhurnya? Mengingat pada zaman sekarang, demam korea
melanda anak-anak muda indonesia, mulai
dari segi bahasa, cara berpakaian,
nyanyian, cerita dan sebagainya. Hal ini tentu difaktori oleh globalisasi dan
modernisasi.
Indonesia memiliki wilayah yang luas, negara maritim, negara dengan sebutan
Multikultural, negara kepulauan dan yang lumrah disebutsebagai negara
keberagaman. Oleh karenanya, beragam pula tradisi atau kebudayaan pada setiap
masing-masing daerahnya.
Pada era industri 5.0 ini, seperti apakah kondisi atau
nasib budaya lokal di sekitar kita? Ditambah pada dua tahun belakangan sampai
sekarang, seluruh penjuru dunia dilanda pandemi yang sangat mematikan, yang
mengharuskan semua manusia untuk tidak berkrumunan dan seluruh aparatur masyarakat di berbagai lapisan dihimbau untuk
tidak keluar rumah.
Tentu dengan adanya hal ini budaya dan tradisi yang biasa
di lakukan/di gelar masyarakat dengan melibatkan orang banyak dan berakibat
menimbulkan kerumunan itu tidak akan dilakukan, hal ini sesuai dengan intruksi
dari Pemerintah.
Akibatnya, secara perlahan budaya akan terkikis karena
pasifnya tidak ada penggelaran. Namun penulis, pembahasannya tidak akan menitik beratkan
tentang “terkikisnya budaya oleh pandemi” tetapi lebih fokus kepada, tantangan
budaya terhadap globalisasi dan modernisasi.
Sudah sangat nampak disekitar kita, penggelaran budaya-budaya yang sudah
jarang sekali ditemukan, anak-anak muda sebagai penerus bangsa pada era ini (milenial)
lebih condong mengikuti budaya kebarat-baratan dari pada menjaga ataupun merawat
tradisi budaya lokal.
Rata-rata mereka beranggapan bahwa budaya tradisional
adalah sesuatu yang kuno, lawas, tidak berkelas, dan lain sebagainya. Justru mereka lebih
tertarik kepada budaya dan gaya hidup kebarat-baratan, karena hal itu diangap
sesuatu yang keren, tranding, update, modern dan yang lebih dipentingkan
adalah tidak ketinggalan zaman.
Hal ini yang menjadi tantangan besar tentang
nasib budaya leluhur di tangan anak-anak bangsa sekarang. Akankah tetap
bertahan? Atau hilang karena terjajah oleh budaya dari luar dan hilangnya
kesadaran pemuda tentang pentingnya menjaga kelestarian tradisi budaya leluhur?.
Dari sini penulis mengajak pembaca
untuk bersama-sama memikirkan kelestarian budaya kita di tengah banyaknya
tantangan baik dari internal maupun eksternal. Namun, solusi dari penulis
berdasarkan hasil riset dan pengamatannya adalah, kita hanya kalah dibranding
dan edukasi pentingnya pemanfaatan media dan menjaga tradisi budaya dalam
rangka mengenalkan produk lokal budaya yang sangat indah dan beragam ini.
Baca Juga :
Jadi,
untuk kedepan bagaimana pemerintah lebih menunjukkan atensi yang besar dalam
menjaga dan melestraikan tradisi budaya lokal dari berbagai ancaman. Misal
contohnya, memberikan edukasi dan bimbingan kepada anak-anak muda milenial
tentang pentingnya menjaga tradisi lokal. Serta, melakukan pemanfaatan media
sosial secara maksimal dalam rangka branding tradisi dan budaya lokal kepada
masyarakat global.
Mari bersama-sama menjaga dan melestarikan barang yang sangat indah dan
tidak ada harganya degan nama Budaya ini, karena ini adalah milik kita bersama,
kekayaan kita bersama, identitas kita bersama. Dan perlu di ingat, “budaya
lokal adalah warisan dari nenek moyang kita yang sangat berharga dan merupakan
kebanggaan milik bangsa yang harus dijaga. Mewariskanbudaya kepada generasi penerus merupakan kewajiban semua masyarakat. Mewariskan
nilai budaya lokal bukan berarti kita ingin bersikap etnosentris. Tetapi identitas budaya
serta bangga dengan budaya sendiri adalah bentuk kehidupan bernegara”.
Penulis : Ahmad Suhaili, Ketua Rayon PMII Nurut Taqwa, Cermee
Editor : Gufron