Keanehan Sekte Salafi Wahabi (Part 1)


Ilustrasi, Keanehan sekte salafi wahabi, (Foto : Tim Kreatif)
Sudah beberapa hari ini aku tidak menulis. Rasanya
seperti ada yang kurang dalam hidupku, padahal hanya karena tidak menulis.
Dikatakan aneh memang iya. Pria seumuran denganku ini seharusnya sudah
memikirkan pendamping seperti sahabat-sahabatku yang sudah menikah itu.

Mati rasa tentu tidak. Tapi, entahlah. Benakku tak
pernah memikirkan kapan dan dengan siapa harus menikah. Tak terbersit sekali
pun pemikiran seperti itu. Yang ada dalam benakku hanya menulis dan menulis.
Tak ada selain itu. Rasa-rasanya menulis adalah kekasihku, sampai-sampai aku
merasa ada yang kurang jika tidak menulis.



Malam ini aku duduk di depan laptop. Mulai menguraikan
kata demi kata. Menguraikan apa yang kualami tadi dengan sahabat-sahabat karib
di serambi musalla. Tempat ini memang selalu kami tempati, karena memang di
sinilah tempat jam belajar pengurus santri putra.



Tak jarang sering terjadi adu lisan tiap malamnya
antarpengurus. Saling berpendapat dan saling mempertahankan pendapatnya.
Pendapatku juga kadang dipatahkan, tapi aku tidak mau kalah. Tak segan-segan
kupatahkan pendapat mereka sampai tak dapat bicara lagi, kebingungan.

Baca Juga  : 



Tadi, sekitar satu jam yang lalu, di serambi musalla
hanya ada aku, Hakki dan Basri. Yang lainnya sibuk mendampingi jam belajar yang
dibagi tiap daerah sesuai asramanya.



Aku, Hakki dan Basri sejak awal memang sudah sepakat
untuk bermusuhan ketika berdiskusi. Ya, diskusi. Begitu kata mahasiswa yang dilontarkan
di tempat perkopian. Tapi sayang, nampaknya kata diskusi itu kurang terkenal di
kalangan santri, karena yang sering kudengar adalah musyawarah, bukan diskusi.



“Bas, kamu ikut Imam Syafi’i dalam hal fiqih, kan?”
Kata Hakki sambil menepuk paha Basri.



“Boo, iya dong. Karena kan di Indonesia mayoritas
memang mengikuti Imam Syafi’i kalau dalam hal fiqih,” jawab Basri dengan
percaya dirinya.



“Tapi tahu kamu Imam Syafi’i lahir pada tahun berapa
dan wafat tahun berapa?” Lanjut Hakki.



“Nanti sok ikut Imam Syafi’i tapi tidak tahu
biografinya Imam Syafi’i,” tambah Hakki, meledek. Memang sudah biasa Hakki
meledek Basri dan Basri pun tidak marah karena cara meledek Hakki dengan orang
lain beda. Umumnya, orang yang meledek itu disertai wajah tidak suka. Tapi
Hakki beda. Sama sekali tidak sama seperti lain-lainnya. Ketika meledek
seseorang, ia pasti menyertakan tawa kecil, kadang terbahak-bahak. Karena
itulah Basri tidak marah kalau Hakki meledekinya.



“Tahu dong. Mana mungkin aku tidak tahu,” kata Basri
ikut tertawa kecil.



“Jangan-jangan kamu yang tidak tahu, Ki. Hahaha,”
imbuh Basri.



Ditantang menjelaskan biografi Imam Syafi’i, Hakki
tidak kaget walaupun ia tidak tahu, mungkin. Malah Hakki menanggapi ucapan
Basri itu dengan tawa. Tenang sekali sikap Hakki seperti tahu segalanya dan
tinggal bicara saja. Sikap seperti ini jarang kutemui pada santri yang lain,
bahkan aku sekalipun.


Tapi Basri tahu, itu hanya cara Hakki untuk
mengelabuhinya.


“Ayo, bagaimana biografinya Imam Syafi’i, Ki? Jangan
hanya ketawa. Hahaha.”



“Jadi begini, Bas,” kata Hakki mendehem dan
memperbaiki posisi duduk bersilanya.



“Imam Syafi’i itu, nama aslinya adalah Abu Abdillah
Muhammad bin Idris. Beliau dilahirkan di Gaza Palestina. Tahu kamu ke
Palestina, kan?”



Wah. Santri dari Gentong ini rupanya tahu betul seputar
Imam Syafi’i. Awalnya kukira tidak tahu karena dari sikapnya tidak meyakinkan
sama sekali. Hahaha.



“Iya tahu. Yang kemarin-kemarinnya perang dengan
Israel itu, kan?”



“Sih. Sok tahu kamu, Bas. Hahaha.”



“Boo. Pas liburan Ramadan kemarin itu aku baca di
wartanu.com. Kak Muhlas yang share linknya.”



Aku tertawa seketika mendengar Basri membaca di
wartanu.com. Memang waktu liburan Ramadan kemarin aku menshare link
tulisan tentang Palestina di story WhatsApp dan di kontaknya Basri. Tak
kusangka ia akan membacanya, padahal di pesantren ia tergolong santri yang
minat bacanya minim. Tapi, alhamdulillah kalau ia mau membaca. Turut senang
mendengar hal itu.



“Lanjutkan, Lek,” perintahku pada Hakki untuk
menjelaskan biografi Imam Syafi’i.



“Nah. Imam Syafi’i itu, Bas, lahir pada tahun 150 H
atau 767 M.”



“Abad 1 Hijriyah berarti. Kalau Imam Abu Hanifah
bagaimana, Ki?”



“Lebih dulu kalau Imam Abu Hanifah, Bas. Urutannya itu
kan begini. Pertama, Madzhab Hanafi yang nama imamnya itu Imam Abu Hanifah. Abu
Hanifah ini lahir pada 80 H. Kedua, Madzhab Maliki. Imamnya itu Imam Malik ibn
Anas yang lahir pada 93 H, kemudian baru Madzhab Syafi’i,” Hakki tersenyum
bangga karena dapat menjawab pertanyaan Basri dengan mulus tanpa cacat.

Baca Juga :



Kali ini Hakki menang. Basri mengakui kecerdasan Hakki
di forum musyawarah malam ini. Tapi bukan Basri namanya kalau begitu gampangnya
percaya pada ucapan Hakki. Ia melirikku kemudian tersenyum.



“Betul apa yang dikatakan Hakki, Kak Las?” Kata Basri
akhirnya setelah melirikku.



“Loh yaa ndak tahu, Lek. Menurutmu bagaimana?”
Jawabku cengengesan.



Bibirnya masih belum bergerak. Tertutup rapat sambil
memikirkan jawaban apa yang akan dijawabkan pada Hakki atas penjelasan Hakki
tentang para imam madzhab fiqih yang empat. Giginya mulai terlihat. Tanda-tanda
akan mulai menghajar Hakki dengan segala pemikiran yang ada di dalam otaknya.



“Ada yang belum, Ki. Madzhab fiqih itu kan ada empat.
Tadi kamu hanya menyebutkan tiga. Yang keempat ini siapa?” Basri memulai, lagi.



“Madzhab yang keempat itu Madzhab Hanbali, Bas. Nama
imamnya Imam Ahmad bin Hanbal. Nah, Imam Ahmad bin Hanbal ini lahir pada 164
H.”



Terkagum-kagum Basri mendengarkan penjelasan Hakki.
Nampaknya tak ada lagi yang akan ia ucapkan untuk menandingi Hakki. Kulihat
wajahnya tak bersemangat. Mulai lesu. Padahal, tiap hari ia terlihat ceria.
Suka duka tetap ceria. Entahlah, malam ini Basri justru berbeda. Apa karena
tidak bisa menanggapi perkataan Hakki, ya?



Mungkin saja iya. Barangkali begitu. Tapi, ia masih
belum percaya dengan ucapan Hakki karena ia tahu sendiri bagaimana Hakki. Bisa
saja Hakki mengada-ada jawabannya, kan? Pikirnya.



Mengada-ada?



“Benar apa yang dikatakan Hakki, Kak Las?” Tiba-tiba
membalikkan keraguannya padaku.



“Benar, Lek, tapi ada yang keliru,” jawabku santai.



“Sih. Apanya yang keliru, Kak Las? Lah wong begitu
kok yang kubaca di buku Khazanah Aswaja itu,” Hakki keberatan dengan
pernyataanku.



Lagi-lagi aku dibuat bangga oleh dua orang ini.
Pertama, Basri yang mulai suka membaca di wartanu.com dan menganggap media
online NU ini sebagai rujukan yang pas dan pantas untuk bahan bacaan santri,
warga NU, dan warga Indonesia secara umum. Kedua, Hakki yang diam-diam juga
suka membaca bukuku yang kuletakkan di samping laptop.



Pernah beberapa kali kulihat Hakki nampak asyik dengan
buku bacaanku. Tanpa ijin membacanya. Aku tidak marah karena aku yakin bukuku
akan tetap aman kalau Hakki yang baca. Kalau yang lainnya aku ragu, khawatir,
takut. Takut bukuku tinggal kenangan.



Basri kuperintahkan mengambil buku Khazanah Aswaja
yang ada di kamarku. Setelah diserahkan padaku, kukatakan sekali lagi kalau
jawaban Hakki tadi ada yang keliru. Tidak sama dengan yang ada di dalam buku
Khazanah Aswaja yang saat ini kupegang.



“Imam Abu Hanifah, Imam Malik ibn Anas, Imam Syafi’i,
dan Imam Ahmad bin Hanbal memang imam fiqih yang sampai sekarang pendapat
mereka atau madzhab mereka diakui dan dipakai oleh mayoritas muslim sedunia.
Tapi, tadi ada yang keliru, Lek Ki,” kataku, menjelaskan.



“Imam Malik ibn Anas itu lahir pada 95 H kalau di buku
Khazanah Aswaja,” ungkapku menyodorkan buku.



“Imam Malik ibn Anas lahir pada 95 H bukan 93 H. Kalau
kamu ngotot bilang 93 H, apa referensimu, Lek?”



“Nah, itu dia yang aku tidak tahu, Kak Las. Jawabanku
tadi itu hanya tebakan saja. Benar atau tidak urusan belakang yang penting bisa
mengalahkan Basri,” sahut Hakki tertawa terbahak-bahak.



“Betul kok, Lek. Cuma tadi itu yang keliru. Kalau
dalam buku Khazanah Aswaja itu Imam Malik lahir pada 95 H.”



Sekarang gantian yang termangu. Tadi Basri, sekarang
Hakki. Tidak ada tanggapan dari keduanya dan itu membuatku harus menjelaskan
panjang lebar mengenai imam fiqih yang dikenal dengan Salaf ash-Shalih atau
ulama salaf.



Mereka belum tahu ulama salaf. Mereka hanya tahu
sebagaimana percakapan mereka dari tadi. Tentang yang lainnya, apalagi ini,
mereka belum tahu apa-apa. Makanya sekarang mereka menuntutku untuk
menjelaskan.



“Setahuku begini, Lek,” kataku memulai penjelasan.



“Salaf itu nama zaman, yaitu merujuk pada imam-imam
atau ulama yang hidupnya antara kurun waktu kenabian Nabi Muhammad SAW hingga
abad ketiga Hijriyah, 300 Hijriyah.”



“Generasi pertama disebut sahabat Nabi Muhammad SAW.
Disebut generasi pertama karena mereka berguru langsung pada Nabi Muhammad SAW.
Generasi kedua disebut tabi’in, yaitu mereka yang berguru pada sahabat Nabi walaupun
belum pernah berguru pada Nabi…”

Baca Juga : 



“Kak Las,” kata Rio memotong penjelasanku.



“Usai jam belajar disuruh ke Wonosari beli obat,”
lanjut Rio.



Aku hanya mengangguk mengiyakan. Hakki dan Basri
menatap Rio dengan pandangan tak senang karena penjelasanku dipotong begitu
saja. Padahal masih asyik-asyiknya mendengarkan, kata mereka menggerutu.



Buku Khazanah Aswaja masih di pangkuanku. Terbuka
lebar di halaman 171 tentang biografi keempat imam fiqh yang masyhur digunakan
sampai hari ini. Aku melanjutkan, “Generasi ketiga disebut tabi’ut tabi’in,
yaitu mereka yang tak pernah berguru pada Nabi Muhammad SAW dan sahabat. Tapi,
mereka berguru pada tabi’in,” ujarku.



“Berarti Abu Hanifah termasuk tabi’ut tabi’in, ya Kak
Las? Kan Abu Hanifah lahirnya pada 80 H. Tentu di tahun itu masuk generasi ketiga,
kan?” Tanya Hakki yang memang sedikit paham setelah membaca buku Khazanah
Aswaja beberapa hari ini.



“Nah, betul sekali, Lek. Abu Hanifah ini berguru pada tabi’in.
Salah satunya adalah Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ari. Abu Hanifah juga
pernah bertemu dengan beberapa sahabat, Lek. Di antaranya adalah Anas bin Malik
yang wafat pada 93 H di Kufah.”



“Kalau Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali itu
termasuk apa, Kak Las?” Sekarang Basri yang bertanya, penuh penasaran.



“Ketiganya itu juga tabi’ut tabi’in, Lek. Makanya,
para imam madzhab fiqih yang empat itu dikenal dengan ulama salaf,” kataku.



Kutengok jam musalla sudah hampir jam 21:00 WIB.
Artinya, jam belajar sebentar lagi akan habis. Tak cukup rasanya menjelaskan
tentang imam madzhab fiqih yang empat ini. Tak apalah, pikirku. Kalau toh tidak
nutut bisa disambung di kamar.



“Sesuai yang kusampaikan tadi, Lek. Ulama salaf ini
adalah ulama yang hidupnya dari 0-300 Hijriyah. Keempat imam madzhab fiqih tadi
itu lahirnya jauh sebelum tahun 300 H. Dan, ada lagi ulama Ahlussunnah wal
Jamaah yang masuk pada ulama salaf ini, Lek. Namanya Abu Hasan al-Asy’ari dan
Abu Manshur al-Maturidi. Keduanya Imam besar Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal
akidah…”



“Jangan lupa, Kak Las, sebentar lagi ke Wonosari,”
kata Rio memotong penjelasanku lagi setelah dari kelas mengontrol jam belajar
perdaerah.



Lagi-lagi hanya anggukan yang kuberikan padanya.



“Abu Hasan al-Asy’ari ini, Lek, lahir pada 260 H.
Sedangkan Abu Manshur al-Maturidi ini tahun kelahirannya tidak diketahui pasti,
hanya saja diperkirakan sekitar pertengahan abad ketiga hijriyah. Kalau dalam
buku Khazanah Aswaja ini, Lek, beliau lahir pada 238 H,” ujarku menunjukkan
buku Khazanah Aswaja di halaman 35.



Basri dan Hakki sama-sama melihat buku yang
kutunjukkan. Mereka hanya mengangguk dan Hakki pun mulai ingat dengan apa yang
sudah ia baca. Dari Hakki ini aku juga ingat bahwa apa pun yang manusia alami
akan tersimpan di alam bawah sadar. Pengalaman itu akan diingat ketika
dibutuhkan. Apabila lupa, caranya adalah memusatkan pikiran pada alam bawah sadar
atau dengan bantuan orang lain. Seperti yang kulakukan pada Hakki tadi.



“Teeng, teeng, teeng.” Bunyi itu menjadi pertanda
berakhirnya forum musyawarahku dengan Hakki dan Basri. Aku segera pamitan ke
kamar hendak mengambil kontak sepeda untuk memenuhi tugas mulia, beli obat ke
Wonosari.



Sebelum berangkat kukatakan pada Hakki dan Basri akan
kulanjutkan nanti setelah pulang atau besok. Insyaallah, kataku lalu
menghidupkan sepeda motor dan keluar area pesantren.



* * *




Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng



Editor : Gufron

Lebih baru Lebih lama