Makna Kemerdekaan Menurut Yenny Wahid

Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation
Mengisi hari kemerdekaan, Wahid Foundation menyemarakkannya dengan rangkaian kegiatan ekslusif perayaan kemerdekaan, yaitu Live Instagram seputar Kampung Damai dengan tajuk “Gus Dur dan Kemerdekaan di Era Disrupsi” pada Senin sore (16/08).


Dalam kesempatan itu, Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation yang menjadi pembicara mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia di era disrupsi sungguh sangat berbeda dengan tantangan di masa penjajahan yang musuhnya secara jelas tampak di mata kepala.

Tantangan bangsa Indonesia hari ini adalah musuh tidak nampak yang menjajah pikiran dan gaya hidup, seperti algoritma yang mengontrol jejak pencarian di internet secara terus menerus menyuguhkan informasi yang pada akhirnya mengakibatkan gaya hidup semakin konsumtif.

Baca Juga : 

Alangkah bijaknya, menurut Yenny, semua orang khususnya milenial selaku digital native untuk memulai membentuk pola pikir sendiri, cukup mengkonsumsi apa yang dimiliki dan tidak menjadikan media sosial sebagai standar gaya hidup dalam kehidupan nyata.

“Kemerdekaan sekarang ini, terutama bagi kaum milenial, kita harus membentuk cara pikir kita sendiri, mengonsumsi apa yang ada dan jangan jadikan gaya hidup sebagai patokan. Kita mengukur kebahagiaan dengan cara hidup orang lain saja itu sudah menunjukkan tidak merdeka. Kita membiarkan medsos atau lingkungan kita menjadi tolok ukur kebahagiaan kita, padahal kebahagiaan kita sendiri yang mendefinisikan,” katanya.

Hadirnya media sosial, menurut Yenny, juga cukup menguras emosi banyak orang, khususnya dalam kehidupan berbangsa. Tidak dapat dipungkiri, terdapat banyak sekali bullying, gencarnya penyebaran hoaks, dan banyaknya hate speech yang kecenderungannya membelah masyarakat. Sehingga tantangan kemerdekaan ini nampak begitu sangat berat untuk dihadapi. Meskipun begitu, kata Yenny, tantangan ini harus tetap dihadapi.

"Perubahan ini merupakan efek dari cara kita berinteraksi satu sama lain. Ada bullying, hoaks, hate speech yang kecenderungannya membelah masyarakat. Kamu dukung saya atau kamu membenci saya. Kita harus hadapi ini," jelas dia.

Masih menurut Yenny, disrupsi ini terjadi tidak terlepas dari adanya kemajuan tekhnologi dan perubahan gaya hidup sehingga memaksa banyak orang untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Ia mencontohkan, banyaknya orang yang terpaksa beralih profesi akibat hilangnya mata pencaharian mereka karena digantikan oleh tekhnologi. 

Namun begitu, kata Yenny, kemajuan tekhnologi bak pedang bermata dua. Ia bisa membantu manusia, namun di sisi lain, bisa merugikan kehidupan manusia.

Saat ditanya mengenai tujuan program Desa Damai, Yenny menyebutkan bahwa tujuan diinisiasinya program tersebut adalah untuk menguatkan komunitas masyarakat di desa. Sebab menurutnya, justru desalah fondasi negara ini.

Di saat pandemi atau krisis lainnya berlangsung, justru negara harus bersatu untuk berhasil melewati krisis akibat pandemi. Dan desa memiliki kehidupan yang guyub dan rukun untuk bisa menjadi modal melewati krisis tersebut.

Baca Juga : Gus Dur dan Politik Kemanusiaan

“Meskipun di desa, tapi merekalah fondasi utama bagi bangsa ini. Kalau kita lihat di masa pandemi sekarang ini, kita lihat bahwa negara yang berhasil melewati krisis adalah negara yang bersatu, negara yang terpecah ya sulit. Kita kadang merasakan residu pilpres, tetapi tidak seekstrem negara lain. Nah, dari pikiran itu kita harus bersatu, maka kita berpikir harus dari mana, ya dari desa, kalau kota sangat sibuk dan stres. Jadi, kita membantu desa dengan memfasilitasi. Yang berperan besar ya para penggerak di desa, dan masyarakat desa pada umumnya,” bebernya, menjelaskan tujuan Program Desa Damai.

Lebih jauh Yenny menerangkan, penguatan yang harus dilakukan harus melalui pendekatan penguatan gender dan ekonomi yang berbasis keamanan insani, khususnya kepada kelompok perempuan. 

Sebab menurut Yenny, investasi kepada perempuan di banyak bidang akan melahirkan banyak manfaat kepada masyarakat pada umumnya.

“Misalnya dalam bentuk pendidikan untuk anaknya. Jadi lebih banyak investasi kalau diberikan kepada perempuan, hasilnya akan lebih banyak. Jadi sebetulnya, investasi kepada laki-laki sudah berjalan dengan wajar, dan laki-laki rata-rata lebih berdaya, perempuan perlu dibantu, dan ketika dibantu dampaknya besar,” katanya.

Yenny juga menjelaskan bahwa hadirnya tekhnologi, sekat jarak sosial antara desa dan kota menjadi runtuh. Menurutnya, harus ada ruang bagi siapa pun dan dimana pun untuk berekspressi. Sebab, kemerdekaan adalah memberikan hak orang lain untuk merdeka dalam hal mengekspresikan dirinya, terutama ekspresi keberagamaan, karena itu hak paling hakiki.

“Jarak antara desa dan kota semakin cair, tidak boleh ada yang merasa dikotomi. Semuanya merasa mempunyai hak yang sama. Sekarang mestinya kita saling menguatkan untuk saling menyuarakan pendapat dan berekspresi, praktik baik gotong royong dan toleransi di desa itu juga harus kita kuatkan. 

Makna kemerdekaan itu ya memberikan hak orang lain untuk merdeka dalam hal mengekspresikan dirinya, terutama ekspresi keberagamaan, karena itu hak paling hakiki. Untuk mencari surga, kita tidak perlu menjadikan neraka untuk orang lain,” tutupnya.


Kontributor : Sodiqul, Sekretaris LTN NU Depok

Editor : Muhlas

Lebih baru Lebih lama