Spektrum Manhaj; Satu Nama Beda Rasa

Ilustrasi, Bermanhaj (Foto : Tim Kreatif)
Manhaj secara bahasa artinya jalan yang jelas dan terang. Sedangkan secara istilah, manhaj ialah kaidah atau ketentuan yang digunakan bagi setiap pelajaran ilmiah, seperi kaidah-kaidah Bahasa Arab, ushul aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir, dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar.

Sebenarnya, hemat penulis, makna sederhana dari manhaj adalah metodologi. Jalan yang ditempuh untuk mencapai sesuatu. Ia juga bisa diartikan metodologi keilmuan. Dalam ranah akademik, manhaj agak mirip dengan madzhab. Hanya saja madzhab cakupannya lebih besar.

Manhaj biasanya lebih kecil dan terkonsentrasi. Pengaruh manhaj bukan saja pada diri sendiri melainkan juga pada orang lain. Dalam Islam, banyak sekali manhaj. Yang penulis kenal, misalnya, manhaj al-Azhar Asy-Syarif di Mesir, manhaj Alawi di Yaman, atau yang dari nusantara seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.

Baca Juga : 

Penisbatan manhaj pada jamiyah atau universitas, ormas, gerakan, ataupun warisan turun temurun karena manhaj menghimpun cara berpikir dan bertindak. Seperti manhaj Bani Alawi di Yaman yang pengaruhnya mendunia melalui jaringan para habaib. Dan tentu saja, masing-masing manhaj mempunyai karakteristik tersendiri sebagai pembeda dengan yang lain.

Ketika penulis mengatakan manhaj Nahdhatul Ulama, maka yang dimaksud adalah cara berpikir dan bertindak orang-orang NU. Pun ulama-ulamanya, organisasinya: PBNU, PWNU, PCNU, MWCNU, PRNU, PARNU, gerakannya, dan sikap masyarakatnya.

Kalau mau diakui sebagai orang NU, maka harus mau berpikir seperti orang NU, mengikuti ulama NU, dan bertindak layaknya orang NU. Kalau ada orang yang mengaku NU tetapi tidak mau berpikir dan bertindak selayaknya orang NU, mungkin ia bisa disebut dengan nahdliyyin gadungan.

Begitu pun dengan Salafi Wahabi. Sengotot apa pun mereka mengaku bahwa mereka universal dan bukan madzhab, pewaris sah generasi terbaik Islam (Salaf ash-shalih), serta menyerang siapa pun yang meragukan keotentikan mereka, tetap saja mereka punya karakteristik yang berbeda dengan yang lain.

Dengan karakteristik itu, tentu saja memudahkan kita untuk mengelompokkan mereka pada salah satu manhaj yang ada. Artinya, mereka memiliki cara berpikir dan bertindak sendiri.

Salah satu cara berpikir khas Salafi Wahabi adalah eksklusif. Memandang bahwa orang yang tidak segolongan dengan mereka sebagai ahli bidah, bahkan kafir. Sebagaimana yang dituduhkan pada pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Saking eksklusifnya, antar kelompok mereka pun bisa saling menaruh kecurigaan, saling menyalahkan, bahkan saling mengkafirkan. Kata kelompok mereka yang penulis sebutkan berdasarkan kesamaan karakteristik antarmereka, walaupun di antara mereka sendiri saling baku hantam.

Eksklusifisme inilah yang membuat Salafi Wahabi bersikap takfiri—Kafir mengkafirkan, mengasingkan diri dari orang lain dengan dalih “ghuroba” yakni menganggap diri sendiri yang benar dengan berpedoman pada al-Qur'an dan Hadits saja dan menafikan adanya Ijtihad ulama (Ijma' dan Qiyas).

Sikap tersebut bagi faksi radikal-teroris, ibarat tinggal memanen bibit yang sudah ditanam. Faksi keras tersebut tidak perlu repot-repot mencuci otak dari nol, karena frameworknya sudah sama dengan Salafi Wahabi. Tinggal didalamkan saja pemahamannya.

Bagi penulis, fenomena ini menunjukkan adanya spektrum manhaj. Bahwa manhaj yang satu nama bisa beda rasa. Tergantung siapa yang membawa, misi yang dibawa, dan tujuan yang ingin dicapai.

Hampir semua manhaj memiliki spektrumnya sendiri, kecuali beberapa manhaj yang dengan jelas menunjuk siapa yang boleh berbicara mewakili manhajnya. Seperti al-Azhar Asy-Syarif yang memiliki Haiah Kibar al-Ulama sebagai juru bicara manhajnya.

Ulama al-Azhar itu banyak, tetapi yang pendapatnya berhak dihitung sebagai pendapat manhaj al-Azhar hanyalah pendapat para ulama besar dalam Haiah Kibar al-Ulama tersebut.

Baca Juga : Mengapa Harus Ber-NU? Begini Kata Kepala Desa Sumber Kokap

Dengan demikian, kita juga harus mau memandang spektrum ini dengan adil dan objektif. Bahwa ada salafi moderat, salafi garis keras, salafi yang berkiblat ke Saudi, salafi alumni perang Afghanistan, salafi radio, salafi jihadis, dan yang lainnya.

Memang harus diakui mereka berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ada pun akar radikalisme dalam tubuh Salafi Wahabi, harus dipahami sebagai sebuah potensi yang harus diredam.

Toh kalau bicara potensi, ternyata fakta terbaru menunjukkan ada orang yang ditangkap karena ikut terlibat dalam aksi teroris, padahal di rumahnya dipasang foto para habaib. Sangat jauh dari kelompok Salafi Wahabi yang mengharamkan foto.

Artinya, potensi itu bisa muncul dari mana saja. Tugas kita adalah mencegah dan mewaspadai sebelum potensi tersebut menjadi aktual. Bukan dengan menebar prasangka, tetapi mencerahkan dan menebar pesan perdamaian.


Penulis : Ratih Chyntia Dewi, Mahasiswi UINKHAS Jember dan Koordinator Jaringan Komunikasi PC IPPNU Bondowoso

Editor : Muhlas

Lebih baru Lebih lama