Dr.Bachtiar Rifa,i, S. Ag, M.Pd.I, Wakil Ketua I Bidang Akademik STAI, At- Taqwa Bondowoso |
Persoalan relasi antar agama (Islam dan non Islam) ini bukan hanya terjadi pada era kontemporer (kekinian). Sejak awal kehadiran dan pertumbuhan Islam yang dibawa langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau sudah melakukan assesment dengan kaum kuffar, kaum Yahudi dan Nasrani pasca hijrah di Madinah, sebagai konsensus politik dalam membentuk negara Madinah.
Baca Juga :
- Resmi Terpilih, Duet KH Miftachul Akhyar & KH Yahya Cholil Staquf Pimpin PBNU
- PK PMII RBA STAI At-Taqwa Rekonstruksikan Pendidikan di Bondowoso Melalui Sarasehan Pendidikan
- I’tiqadkan Pelajar NU Lebih Baik, PC IPNU-IPPNU Gelar RAPIMCAB Perdana
Sebagian pengamat menafsirkan Madinah dengan sebutan City State (negara kota) dengan kriteria masyarakat yang memilki keadaban tinggi (tamaddun). Sebagian lagi mengatakan bahwa Madinah adalah Nation State (negara bangsa) karena faktor heterogenitas, varian budaya, sosial masyarakat yang terdiri beberapa suku, kabilah dan agama yang beragam.
Faktor heterogenitas (kemajemukan) ini sebagai fakta historis dan sosiologis dan bahkan tersurat dalam risalah Wahyu (lihat QS. Al-Hujurat ayat 13) yang tidak bisa dihindari oleh Nabi sebagai Kepala Negara di satu sisi dan sebagai Rasul di sisi yg lain. Tentu Nabi mempertemukan antara kehendak Tuhan (perintah Wahyu) dengan kondisi sosial masyarakat di wilayah teritorial Negara Madinah di bawah kekuasaan-Nya.
Maka, assesment politik (kontrak politik) utamanya adalah perdamaian, tidak saling menyerang, tunduk kepada pemerintah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Dan sebaliknya, pemerintah wajib melindungi, menjamin keamanan, dan menjamin kebebasan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing, memberikan jaminan hak hidup kepada seluruh warga Madinah. Assesment ini tidak merugikan semua pihak yang kemudian tersusun secara sistematis menjadi mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).
Di sinilah Nabi merumuskan pondasi negara pertama kali, menurut Syekh Ali Abdurrozieq berbasis "Masyarakat Islami" bukan "Negara Islam". Agama tidak dijadikan simbol negara dan tidak menjadikan Islam sebagai agama negara.
Masyarakat yang beragam budaya, agama, suku, dan golongan tunduk kepada pemerintah Islam. Piagam ini memiliki 4 bagian yang sangat urgen dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni; bagaimana hubungan antar sesama umat Islam, hubungan antar Islam dengan non Islam, hubungan Islam dengan negara, dan hubungan antar warga negara di Madinah.
Perjanjian damai dengan kaum kuffar dan non muslim di Madinah menjadi ikatan dan landasan yuridis dalam membangun tatanan sistem pemerintahan. Dalam konteks ini Nabi benar-benar menjaga dan melindungi warga non muslim, tidak mengancam, mengintimidasi apalagi mengusir dari Madinah. Hal ini juga ditegaskan dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8-9, yang artinya;
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah SWT hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu, (yaitu) orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama dan mengusirmu dari kampung halamanmu, serta membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
Kemudian juga ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Kontekstualisasi ayat dan hadits di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa pola hubungan dalam muamalah, sosial budaya, ekonomi, politik dan lain-lain tidak dilarang dalam al-Qur'an, dan bahkan Nabi sendiri dalam riwayat as-Saukani pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi (Abu Syam) dan menerima beberapa tamu kehormatan perempuan Yahudi di masjid Nabawi.
Sikap toleransi ini juga pernah dilakukan oleh Khalifah al-Walid bin Abdul Malik salah satu Khalifah dari dinasti Umayyah saat menaklukkan Andalusia melalui pesan moralnya kepada Tariq bin ziyad (panglima perang), yaitu hangan membunuh anak-anak, anak perempuan dan orang-orang yang sedang beribadah di tempat peribadatannya masing-masing.
Pesan ini disampaikan melalui Musa Bin Nusair yang saat itu sedang menjabat gubernur di Afrika Utara. Tentu ini mengisyaratkan sebuah penghormatan kepada non Islam yang taat pada agamanya dan tidak melakukan perlawanan kepada tentara Islam.
Baca Juga :
- Makna Kemerdekaan Menurut Yenny Wahid
- Antara Kitab Suci, Agama dan Fakta Kemanusiaan
- Renungan Maulid (2): Memaknai Keindonesiaan Kita
Sikap toleransi universal ini dalam tafsir kontemporer sebatas pengakuan dan menghormati keyakinan orang lain terhadap keyakinan agamanya, tidak berarti membenarkan agamanya. Jika kita ikut membenarkan agamanya maka tidak ada bedanya dengan keyakinan kita terhadap kebenaran agama Islam, dalam arti membenarkan semua agama. (Lihat QS. al-Madinah ayat 3).
Maka, ucapan Selamat Hari Natal dapat dibenarkan sebagai bentuk pengakuan kita terhadap keyakinan orang lain terhadap agamanya, demikian pula terhadap pemeluk agama-agama lain dan tidak dibenarkan kita mengucapkan Selamat Hari Natal dengan maksud membenarkan agama mereka, (QS. al-Kafirun).
Saya sebagai warga negara dengan sikap nasionalisme perlu mengucapkan "Selamat Hari Natal". Mari kita jaga kerukunan antar agama sebagai cikal bakal keutuhan bangsa menuju kedamaian yang abadi.
Bondowoso, 25 Desember 2021
Penulis : Dr. Bachtiar Rifa'i, S. Ag, M.Pd.I, Waka 1 Bidang Akademik STAI At-Taqwa Bondowoso
Editor : Muhlas