Wartanu.com - Isam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin harus bisa menunjukan eksistensinya, keberadaannya dituntut mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi semua makhluk di alam semesta ini.
Ibarat udara yang memberikan rahmat pada semua makhluk, meskipun tidak tampak eksistensinya. Namun, keberhargaannya dan tidak bisa dinilai dengan rupiah, hakikatnya bernilai vital bagi kelangsungan ekosistem makhluk.
Cahaya Islam haruslah seperti mentari yang lebih banyak memberi manfaat pada siapapun yang disapanya, tidak pernah menuntut balasan.
Agama Islam dibangun diatas 3 pilar yang kokoh yaitu Rukun Islam sebagai pondasi, Rukun Iman sebagai penyanggah dan Ihsan sebagai aksesoris utama dalam menampilkan performance Islam yang beretika dan berestetika.
Bila porsi ketiganya tidak seimbang tentu akan mengganggu sendi-sendi peradaban Islam sendiri. Misalnya Rukun Islam yang melahirkan Syari’at terlalu diprioritaskan dan mengabaikan aspek yang lain, maka Islam tampil sebagai sesuatu yang kaku dan lebih mengedepankan casing dan atribut.
Baca Juga :
Disisi lain, apabila ranah Iman yang pendekatannya melalui Tauhid terlalu diprioritaskan. Maka, wajah Islam tampil sangar dengan memunculkan agen-agen yang mudah mengkafirkan orang lain.
Keduanya harus seimbang agar citarasa ber-Islam secara proporsional. Keseimbangan kedua komposisi tersebut diintegrasikan yang dikombinasikan dengan pilar ketiga yaitu Ihsan. Sehingga, Ihsan inilah yang melahirkan konsep akhlak dan tasawuf.
Islam di Nusantara ini tampaknya disebarkan dengan mengedepankan potensi tasawuf yang dimanifestasikan dalam wajah islam yang fleksibel, adaptif dan berimprovisasi dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), sehingga wajah Islam diramu dengan penuh cinta dan perdamaian yang tidak konfrontatif.
Penyebar Islam awal memang banyak dipelopori oleh para ahli tarekat dan kaum sufi yang mensinergikan dua arus pendekatan yakni teoretis dan praktis, ilmi dan amali.
Islam tidak disebarkan dengan menggunakan ayat-ayat pedang dalam penyebaran dan membangun peradaban Islam di Nusantara. Oleh karena itu, Islam awalnya datang dengan lebih menekankan pada penyadaraan nilai-nilai kemanusiaan agar tidak terbangun tradisi kebencian dan saling membenci.
Baca Juga :
Melalui ajaran tasawuf dan kaum sufi inilah yang kemudian melalui ajaran cinta sufistik diracik dengan wajah Islam yang progresif, kontekstual dalam dinamis.
Selain itu, juga dengan tradisi sufi, nilai-nilai tasawuf dalam menanamkan karakter-karakter bangsa terbangun dalam jiwa anak-anak bangsa hingga kini.
Karakter luhur yang sudah menjadi identitas bangsa tersebut menjadi salah satu elemen perekat kebhinekaan bangsa ini, bila implementasi Ihsan diabaikan apalagi dinegosiasikan, justru gugusan sejarah bangsa ini kehilangan mata rantai yang akan kembali mencerai-beraikan rangkaian, menjadi serpihan-serpihan yang sulit dirajut kembali dalam nalar sejarah bangsa ini secara utuh.
Nilai-nilai tasawuf melengkapi dan mewarnai khazanah esoteris Islam dalam membangun dan mengembangkan peradaban Nusantara.
Di tanah air, tasawuf tidak hanya dijumpai di ruang-ruang privat dan kelas-kelas eksklusif, tetapi kontribusinya juga mengalir dalam ruang publik dan interaksi sosial.
Baca Juga :
Eksistensinya seperti air laut yang akan mengambil bentuk lahiriah berupa gelombang-gelombang ombak, namun tetap tidak merusak hakikat mereka sebagai air laut. Air laut menjelma menjadi garam yang meningkatkan cita rasa masakan, meski orang tidak pernah menyebutnya dalam nama masakannya, misalnya nasi goreng garam atau soto garam ayam.
Pada titik inilah tasawuf menemukan posisinya dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Artinya setiap orang bukan hanya berpotensi menikmati hakikat cinta sufi, tetapi juga benar-benar mengalaminya dalam kesadaran personal dan sosial. Bahkan aroma cinta sufi tertanam dalam Pancasila bangsa ini.
Sebagaimana di takar nilai-nilai Tasawuf dalam 5 asas Pancasila;
Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mencerminkan bahwa muara dari cinta sufi yaitu meleburnya jiwa dengan kesempurnaan absolut dan keindahan tertinggi sang Maha Esa sebagai prioritas tertinggi dalam Bertauhid.
Dalam tasawuf dikenal dengan konsep Mahabbah (Cinta) milik Rabi'atul Adawiyyah, Wahdatul wujud (Kesatuan Wujud) Ibnu 'Arabi, Ittihad (kebersatuan) Abu Yazid Al Busthomi, Hulul milik Al Hallaj, Manunggal Ing Kaulo Gusti yang dikonsepsikan Syekh Siti Jenar, Ma'rifatullah Imam Ghazali.
Baca Juga :
Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Mencerminkan cinta makhluk kepada Tuhan. Nilai-nilai tasawuf mengajarkan bahwa cinta pada Allah berdampak pada mencintai kesan-kesannya. Manusia adalah kesan terindah Allah. Maka, mencintai manusia merupakan akumulasi lipatan cinta akan ciptaan-Nya.
Sebaliknya, merendahkan martabat manusia, berbuat tidak adil serta menghilangkan nilai-nilai keadaban, menciptakan ketimpangan dan kepincangan dalam cinta. Maka, dalam mencintai Tuhan harus menggunakan norma dan adab; mencintai Tuhan tanpa mencintai makhluk sama tidak adilnya dengan cinta makhluk tanpa cinta Tuhan. Di sinilah tampak menonjol keadilan terhadap kemanusiaan sebagai adab yang harus digunakan dalam mencintai Tuhan.
Ketiga, Persatuan Indonesia.
Sebagai butir yang menjadi ciri khas Indonesia dan tidak akan sama dengan bangsa lain. Menggambarkan pada puncak pengalaman sufi, cinta tertinggi adalah peleburan diri dengan Tuhan dan yang di manifestasi secara konkret dalam keinginan bersatu dengan manusia, dengan alam, dengan lingkungan, dengan tumpah darah dan tanah airnya sendiri Indonesia.
Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Merajut cinta pada selain Tuhan hanya sekedar membina hubungan emosional dengan Tuhan, tetapi harus melebur dan terlibat aktif di tengah masyarakat untuk memastikan fungsi dan peran sufi di perjalanan ruhani terakhir, yakni perjalanan keempat, sebagai agen penyempurna (al-mukammil) berdasarkan nilai-nilai kebenaran Ilahi dan kemaslahatan insani.
Pada titik inilah kita menyadari tasawuf sebagai unsur kemasyarakatan yang berbasis di atas kebijaksanaan. Kata rakyat yang diambil dari ra'iyah sebagai wujud menjalankan titah pencipta sebagai kholifah di muka bumi yakni siap memimpin dan siap dipimpin.
Baca Juga :
Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mendorong nilai-nilai tasawuf untuk bersikap adil sepanjang pelaksanaan misi kholifah Allah. Dengan kecintaan pada nilai keadilan, peran penyempurna sosial terlaksana secara utuh bahkan lebih merata daripada nilai kedermawanan.
Nilai-nilai tersebut tercermin dalam lima butir Pancasila. Tasawuf dapat dipastikan sebagai satu komponen penguat nilai-nilai asas kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memadukan nilai-nilai Islam dan Nilai-nilai luhur bangsa menjadi identitas Indonesia.
Pengamalan butir-butir Pancasila senafas dengan arus tasawuf dalam membina bangsa. Demikian sebaliknya, pengalaman bertasawuf akan berkontribusi positif pada pengamalan Pancasila. Tidak hanya kalangan sufi, semua orang pasti mencintai nilai ketuhanan, keadilan, keberadaban, persatuan, kebenaran, kebijaksanaan dan kemaslahatan.
Pada konteks hubungan tasawuf dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara inilah, berbagai elemen dan unsur masyarakat Indonesia perlu juga didorong untuk bersama-sama kaum sufi dan pecinta tasawuf menggali lebih dalam lagi khazanah tradisi Islam dengan memperkaya pemahaman serta kesadaran kita.
Sehingga, dapat dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan, melampaui tantangan dan mendorong kemajuan bangsa dan negara.
Penulis ; Dr. Suheri, M.Pd.I (Ketua STAI At-Taqwa Bondowoso)
Editor : Haris