Catatan Ringan Untuk Ustadz Ihsan Tanjung; Serahkan Covid-19 Pada Ahlinya

Dr. KH. Abdul Haris, M.Ag Ketua MUI Jember (Foto : Tim Kreatif) 
وعلى كل حال إن الفاعل الحقيقي المؤثر هو الله تعالى، أما الأدعية المأثورة، وتلاوة آيات الشفاء، والفاتحة والمعوذات وغير ذلك فهي من وسائل الفرج والبرء بإذن الله تعالى، بشرط تعظيم القرآن في الصدور، والإيمان الصادق به، والبعد عما لا يتناسب مع تعظيم آيات الله تعالى. ولا يعني هذا الاكتفاء بالرقى عن المداواة والعلاج بالأدوية الناجعة، فذلك كله من الوسائل التي أذن الشرع بها، بل وأوجبها لصيانة حق الحياة. أما ما يفعله بعض العوام من إهمال علاج المريض المحموم أو المبتلى بداء خطير مثلا، اعتمادا على مجرد التلاوة لشيء من القرآن أو التميمة، فهذا جهل بحقائق الدين، وإهدار لقدسية العلم الذي عظمه الله، ورفع شأن علمائه وأتباعه. (التفسير المنير للزحيلي ١۵/ ١۵۵)

Teks yang terdapat di dalam kitab Tafsir Munir karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili di atas merupakan penegasan bahwa kaum muslimin harus peduli dan tidak boleh abai pada hasil temuan ilmu pengetahuan dalam menghadapi penyakit.

Orang yang tidak mau minum obat yang merupakan hasil temuan ilmu pengetahuan dan hanya mencukupkan diri pada ruqyah, membaca ayat syifa’ dan lain-lain dalam rangka mencari kesembuhan dianggap sebagai orang yang bodoh tentang hakikat agama Islam. 

Islam merupakan agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya para pakar dan ilmuwan yang menguasai ilmu pengetahuan dalam bidang apa pun.

Dalam banyak kasus, seorang ahli fiqh (faqih) banyak menggantungkan keputusan hukumnya pada pendapat dan pandangan yang ditawarkan oleh para pakar dan ilmuwan.

Seperti permasalahan makam lama yang digali untuk mayit yang baru. Apakah tanah kuburan yang di dalamnya sudah ditempati “mayit lama” memungkinkan untuk digali kembali dan ditempati “mayit baru”? Para fuqaha’ menggantungkan keputusan hukum ini pada pendapat para ahli tentang pertanahan.

Sebagaimana hal ini ditegaskan di dalam kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 5 halaman 283.

ولا يدفن ميت في موضع ميت الا ان يعلم انه قد بلى ولم يبق منه شئ ويرجع فيه الي اهل الخبرة

Kemudian permasalahan orang yang berhaji kemudian sakit. Apakah orang yang berhaji dan sedang sakit memungkinkan untuk melakukan istinabah (meminta orang lain untuk menggantikan amalan haji yang belum dilakukannya)? Para fuqaha’ juga menggantungkan keputusan hukum ini pada pendapat para dokter yang pakar dalam masalah ini.

Baca Juga :

Sebagaimana hal ini ditegaskan di dalam kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 7 halaman 116.

يُعْرَفُ كَوْنُ الْمَرِيضِ مَأْيُوسًا مِنْهُ بِقَوْلِ مُسْلِمَيْنِ عَدْلَيْنِ مِنْ أَهْلِ الخبرة

Dalam kasus lain misalnya tentang anjing yang digunakan untuk berburu. Apakah seekor anjing dianggap sudah terlatih atau tidak, sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai binatang pemburu? Para fuqaha’ lagi-lagi menggantungkan keputusan ini pada pakar yang mengetahui tentang karakter binatang apakah dianggap sudah terlatih atau tidak.

Sebagaimana hal ini ditegaskan di dalam kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 9 halaman 97.

أَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِي مَصِيرِهِ مُعَلَّمًا أَرْبَعَةُ شُرُوطٍ وَأَنَّهُ يُشْتَرَطُ تَكَرُّرُهُ بِحَيْثُ يَقُولُ أَهْلُ الْخِبْرَةِ إنَّهُ صَارَ مُعَلَّمًا

Kasus yang lainnya tentang barang dagang yang dikembalikan oleh pembeli karena ada cacat. Apakah barang dagangan yang sudah diserahkan kepada pembeli memungkinkan untuk dikembalikan karena ada cacat yang masih diperselisihkan status kecacatannya? Para fuqaha’ menggantungkan hukum masalah ini pada pakar yang ahli dalam bidang ini.

Sebagaimana hal ini ditegaskan di dalam kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 12 halaman 309.

وَالْعَيْبُ الَّذِي يُرَدُّ بِهِ الْمَبِيعُ مَا يَعُدُّهُ النَّاسُ عَيْبًا فان خفى منه شئ رَجَعَ فِيهِ إلَى أَهْلِ الْخِبْرَةِ بِذَالِكَ الْجِنْسِ

Berdasarkan uraian di atas, secara umum dapat ditegaskan bahwa pendapat para pakar dan ilmuwan harus dijadikan sebagai rujukan dan hujjah dalam memutuskan hukum. Kesimpulan semacam ini dapat dilihat dalam Tafsir Taysir al-Karim l-Rahman halaman 598.

فإن كل شيء يحصل به اشتباه يرجع فيه إلى أهل الخبرة والدراية، فيكون قولهم حجة على غيرهم، 

Data di atas memberikan gambaran tentang obyektifitas para fuqaha’ dalam memutuskan hukum. Meskipun kapasitas keilmuan mereka cukup luar biasa dalam bidang keagamaan, akan tetapi dalam hal dan bidang yang bukan termasuk dalam wilayah kemampuan dan kompetensi mereka, mereka meminta pendapat kepada para pakar dan para ahli dalam bidang yang dimaksud dan pendapat para pakar dan para ahli ini diposisikan sebagai hujjah yang harus dijadikan sebagai pegangan dalam penetapan hukum.

Kapasitas mereka sebagai fuqaha’ tidak menjadikan mereka menempatkan diri sebagai orang “yang maha tahu” yang mampu menghukumi segala sesuatu yang terjadi, meskipun di luar wilayah kemampuan dan kompetensinya.

Hal ini penting untuk ditegaskan, utamanya dalam menghadapi pandemi Covid-19. Para tokoh, ustadz, da’i dan penceramah tidak memiliki hak untuk mengatakan bahwa ini berbahaya atau tidak; ini nyata atau rekayasa; ini pandemi atau bukan, ketika yang bersangkutan sama sekali tidak memiliki kapasitas, kemampuan dan kompetensi dalam bidang ini.

Yang berhak mengatakan dan menentukan bahwa ini berbahaya atau tidak, nyata atau rekayasa, pandemi atau bukan pandemi adalah para ulama dan para pakar serta para ilmuwan yang ahli dalam bidang ini.

Pernyataan seorang “penceramah” bahwa pandemi Covid-19 merupakan rekayasa yang direncanakan tidak lebih dari sekadar bualan kosong yang tidak memiliki bobot dan nilai ilmiah sama sekali. 

Di samping hal di atas, perlu di tegsakan bahwa “isu” Covid-19 bukan merupakan isu lokal yang hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi merupakan isu global yang juga terjadi di negara yang lain.

“Isu” ini juga bukan merupakan isu yang hanya terjadi di dunia Islam. Di dunia barat dan nonmuslim, isu ini juga menyeruak dan banyak memakan korban. Karena itu menjadi sulit untuk diterima ketika ada segelintir orang yang menegaskan bahwa Covid-19 benar-benar merupakan isu, rekayasa dan konspirasi yang bertujuan agar umat Islam tidak lagi mampu meluruskan shaf dalam salat (karena harus menjaga jarak); atau bertujuan agar umat Islam tidak lagi mampu bertegur sapa dengan mengucapkan salam (karena harus memakai masker); atau bertujuan agar umat Islam tidak lagi mampu mengucapkan “aamiin” di belakang imam (karena salat jamaah dibatasi 50% dari kapasitas masjid).

Al-Hakim di dalam kitab Mustadraknya memberikan penegasan bahwa: 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يَجْمَعَ اللَّهُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا

Hadits ini menjelaskan bahwa umat Islam selamanya tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Hadits ini tidak hanya diriwayatkan oleh al- Hakim, akan tetapi juga diriwayatkan oleh para perawi yang lain. 

Dalam konteks pandemi Covid-19, dengan menggunakan alur logika hadits ini, maka dapat ditegaskan hipotesis sebagai berikut: Kalau seandainya pandemi ini adalah rekayasa, konspirasi dan merupakan isu yang tidak benar, maka pasti akan ada pakar atau ilmuwan muslim dalam bidang ini yang bersuara lantang untuk menentang dan memberikan penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan menggunakan data yang akurat dan valid, atau bahkan pasti ada satu atau beberapa negara Islam yang berani menentang dan melakukan klarifikasi tentang apa yang sebenarnya terjadi, karena umat Islam yang sekarang hidup di dunia ini tidak mungkin secara keseluruhan sepakat dalam kesesatan dan ketidak-benaran.

Tidak adanya penentangan secara formal dari pakar atau ilmuwan dalam bidang ini, atau dari negara muslim satu pun di dunia ini menunjukkan bahwa Covid-19 merupakan masalah yang nyata, bukan isu, rekayasa atau konspirasi.

Realitas semacam inilah yang ditegaskan oleh para pakar dan ilmuwan dalam bidang ini yang tentunya harus dijadikan sebagai hujjah oleh kita dalam rangka berkebijakan, termasuk di dalamnya hal-hal yang berkaitan dengan ibadah.

Pelaksanaan ibadah salat memang ada aturan baku yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Tentang salat, Nabi Muhammad SAW memberikan panduan yang tegas sebagaimana tertuang dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut: 

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ، وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي 

Tentang salat berjamaah, Nabi Muhammad SAW juga memberikan panduan sebagai berikut:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ

Dalam hadits yang lain, Nabi Muhammad SAW bersabda: 

أقِيمُوا الصُّفُوفَ، فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ، وَسُدُّوا الْخَلَلَ، وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا، وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Pelaksanaan ibadah terkadang berbeda dan bergeser dari aturan dan tata cara asalnya. Perbedaan dan pergeseran yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan untuk merubah aturan dan tata cara yang sudah ada, akan tetapi lebih disebabkan karena adanya situasi dan kondisi yang berubah dan menuntut terjadinya perubahan aturan dan tata cara yang sudah baku.

Dalam konteks ini di dalam ushul fiqh dikenal dengan istilah “azimah” dan “rukhshah”. Imam al-Sarakhsi mendefinisikan azimah sebagaimana berikut: 

الْعَزِيمَة فِي أَحْكَام الشَّرْع مَا هُوَ مَشْرُوع مِنْهَا ابْتِدَاء من غير أَن يكون مُتَّصِلا بِعَارِض

Sedangkan rukhshah diterjemahkan dengan:

والرخصة مَا كَانَ بِنَاء على عذر يكون للعباد وَهُوَ مَا استبيح للْعُذْر مَعَ بَقَاء الدَّلِيل الْمحرم

Ketika konsep azimah dan rukhshah diterapkan dalam shaf salat berjamaah dalam konteks pandemi Covid-19, maka akan muncul uraian sebagai berikut:

Aturan awal mengenai shaf dalam salat berjamaah adalah lurus dan rapat. Ini adalah hukum yang sejak awal ditetapkan oleh syariat atau biasa kita sebut sebagai azimah.

Lanjut Baca : 

Dalam konteks pandemi, para pakar dan ilmuwan dalam bidang ini yang pandangannya harus dijadikan sebagai hujjah menegaskan bahwa penularan virus corona pada umumnya melalui kontak fisik. Oleh karena itu, maka dianjurkan untuk menjaga jarak antara yang satu dengan yang lain, termasuk ketika salat berjamaah.

Aturan shaf salat berjamaah yang pada awalnya harus rapat dapat direnggangkan dalam jarak tertentu karena ada udzur yang mengharuskan untuk menjaga jarak. Perubahan tata cara shaf salat berjamaah dari rapat menjadi renggang karena adanya udzur ini disebut sebagai rukhshah.

Realitas semacam ini merupakan sesuatu yang normal dalam pelaksanaan hukum agama dan bukan merupakan sebuah penyimpangan dalam agama. Dianggap sebagai sebuah penyimpangan ketika perubahan aturan dan tata cara beribadah tidak disebabkan karena udzur.

Di samping dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan azimah dan rukhshah, perubahan tata cara shaf salat berjamaah dari rapat menjadi renggang dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan mafsadat dan mashlahat.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum Islam dapat dikembalikan pada dua hal, yaitu “jalbu al-mashalih” (menarik kemaslahatan) dan “ dar’u al-mafasid” (menolak kerusakan). Pada saat seseorang harus memilih antara menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan, maka yang harus dipilih adalah mendahulukan “menolak kerusakan” dan mengalahkan “menarik kemaslahatan”.

Hal ini dalam konteks kaidah fiqh dikenal dengan: 

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Orang yang sedang melakukan salat berjamaah dihadapkan pada dua pilihan; merapatakan shaf, atau merenggangkan shaf. Ketika ia merapatkan shaf, maka ia berhak mendapatkan fadlilah shaf jamaah, akan tetapi ada resiko tertular penyakit. Ketika ia merenggangkan shaf, maka ia tidak mendapatkan fadlilah shaf jamaah, akan tetapi terhindar dari resiko tertular.

Penerapan kaidah fiqh dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih mengantarkan kita dalam konteks shaf jamaah di masa pandemi pada sikap lebih memilih “merenggangkan shaf” yang berdampak pada terhindar dari resiko tertular dibandingkan dengan “merapatkan shaf” yang berdampak pada diperolehnya keutamaan shaf jamaah

والله اعلم بالصواب


Penulis : Dr. KH. Abdul Haris, M.Ag Ketua MUI Jember

Editor : Muhlas


Lebih baru Lebih lama