Aristoteles berpendapat bahwa negara dibentuk dan dipertahankan, karena negara bertujuan menyelenggarakan hidup yang baik bagi semua warga negaranya |
Salah satu cara untuk muhasabah apakah perjalanan pembangunan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat telah sesuai dengan cita-cita Pancasila, dapat diukur dengan cara melihat kembali apa sesungguhnya tujuan negara didirikan. Salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia termuat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni “memajukan kesejahteraan umum”.
Baca Juga :
- Catatan Ringan Untuk Ustadz Ihsan Tanjung; Serahkan Covid-19 Pada Ahlinya
- Rekam Jejak
- Halal Bihalal MWC NU Taman Krocok; Pentingnya Musyawarah dalam Berorganisasi
- Mantapkan Roda Organisasi, PR IPNU-IPPNU Maskuning Wetan Adakan Pelantikan Pengurus
Upaya memajukan kesejahteraan umum tersebut juga selaras dengan cita-cita Pancasila dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan tujuan negara tersebut dapat dikatakan bahwa negara dapat dijadikan sebagai alat untuk dapat bertindak demi kepentingan rakyat agar tujuan menyejahterakan rakyat dapat tercapai.
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab negara tersebut, Plato berpendapat bahwa negara timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan umat manusia. Tidak ada manusia yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sedangkan masing-masing manusia memiliki banyak kebutuhan sehingga dibentuklah negara sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Aristoteles berpendapat bahwa negara dibentuk dan dipertahankan karena negara bertujuan menyelenggarakan hidup yang baik bagi semua warga negaranya. Senada dengan Plato dan Aristoteles, Harold J. Laski juga mengatakan bahwa tujuan negara didirikan adalah menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai keinginan-keinginannya secara maksimal (Ni’matul Huda: 2011).
Sebagai wujud tanggung jawab negara dalam memajukan kesejahteraan umum, dalam konstitusi telah diatur tentang penanganan terhadap fakir miskin yakni pada Pasal 34 ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa negara ingin menunjukkan komitmen dan konsistensinya pada salah satu tujuan didirikannnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara wajib hadir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dan kemiskinan.
Konsep negara bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan memelihara fakir miskin dikenal juga dengan negara kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat atas bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat.
Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services), tetapi juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya (Khudzaifah Dimyati : 2020).
Itikad baik pemerintah untuk mewujudkan hadirnya negara dalam persoalan masyarakat miskin dapat dilihat dalam Nawacita Pemerintah Republik Indonesia. Nawacita dimaksud adalah Visi Pemerintah Indonesia pada kepemimpinan Bapak Jokowi periode pertama yang memiliki tiga ciri yakni negara hadir, membangun dari pinggiran dan revolusi mental.
Sedangkan visi pada periode kedua adalah lima prioritas pembangunan, salah satunya adalah pembangunan sumber daya manusia. Pada tataran Pemerintah Provinsi Jawa Timur, upaya mewujudkan kesejahteraan umum dapat dilihat dalam Nawa Bhakti Satya. Visi tersebut terdiri dari Jatim Sejahtera, Jatim Kerja, Jatim Cerdas Dan Sehat, Jatim Akses, Jatim Berkah, Jatim Agro, Jatim Berdaya, Jatim Amanah Dan Jatim Harmoni.
Berbagai regulasi dan kebijakan ditetapkan oleh pemerintah sebagai upaya untuk memberdayakan fakir miskin dalam rangka terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Namun tantangan pemerintah juga tidak kecil dalam upaya memaksimalkan pengentasan kemiskinan. Sampai saat ini lebih dari 10 persen penduduk Indonesia masih masuk dalam kategori miskin.
Lanjut Baca :
Kondisi riil yang dapat dilihat adalah masih adanya anak-anak terlantar, gelandangan, pengemis, lansia terlantar, remaja putus sekolah, angka kematian ibu dan anak yang cukup tinggi, dan lain-lain. Hal lain yang menjadi kendala adalah adanya pandangan masyarakat, yang menganggap bahwa seluruh persoalan kemiskinan adalah menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Padahal sesungguhnya upaya untuk mewujudkan nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan yang ada dalam Pancasila bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Momen hari lahir Pancasila tahun ini menjadi momen yang tepat untuk melakukan refleksi dan muhasabah bahwa Pancasila harus menjadi ruh dan semangat dalam meningkatkan kepedulian kepada masyarakt miskin. Pancasila tidak hanya sekedar menjadi prasasti yang dihafalkan secara lisan, namun harus dimaknai secara universal sebagai dasar dan pondasi dalam melaksanakan program pembangunan, termasuk upaya untuk penanganan fakir miskin.
Penulis : Anisatul Hamidah, S.Ag., S.H., M.Si., M.Kn, Sekretaris Umum PC Fatayat NU Bondowoso, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fak. Hukum Universitas Jember.
Editor : Gufron