Ilustrasi, dulu Gus Dur pernah bersahabat dengan Shimon Peres, namun keputusannya bersahabat dengannya ditentang banyak pihak (Foto : Tim Kreatif) |
“Aamiin. Iya Pak Edi, saya merasa Ramadan tahun ini lebih khusyu’ dan lebih thuma’ninah dibandingkan tahun kemaren. Hati saya lebih tenang. Hati saya tak pernah terusik dengan perdebatan dan perselisihan yang tak perlu. Perselesihan yang tak penting. Apalagi urusan politik dan pilpres. Apa karena pilpres sudah lama berlalu ya, Ji?” Sahut Mas David.
“Dasar antek liberal. Antek PKI. Moso hati sampean nggak tergerak sama sekali dengan nasib saudara-saudara kita di Palestina. Merasa khusyu’ dan senang sendiri. Bagaimana mungkin sampean tenang dan berbahagia di saat umat Islam di Palestina sedang dibantai oleh Zionis Yahudi, Israel laknatullah?” Sanggah Kang Parmin sengit.
Baca Juga :
- Emmanuel Macron, Kemarahan Umat dan Kesucian Nabi Muhammad SAW
- Joe Biden dalam Khayalan Cak Mamat dan Petuah Kiai Argo
- Negara Harus Berterima Kasih pada NU dan Muhammadiyah...!!!
Hahaha. Ternyata perdamaian Mas David dan Kang Parmin hanya seumur jagung. Saling maaf memaafkan dalam momen halal bihalal kemarin sudah tercabik dengan ketegangan mereka dalam diskusi subuh pagi ini.
Baru sehari. Sekarang masih tanggal tiga Syawal, baru kemarin halal bihalal dilaksanakan. Hahaha. Benar-benar rival diskusi yang seimbang. Imbang kengeyelannya. Sama-sama memiliki tingkat kengototan di atas rata-rata, kata anak-anak sekarang “Ngeyel tingkat sultan.”
“Lah sampean kok marahnya ke saya, marah saja ke Amerika dan Arab Saudi sana. Mereka yang selama ini bersekutu dan mem-back up Israel. Sampean yang penting anti China, kan? Anti komunis, kan? Anti Rusia, kan? Padahal dua negara ini yang bela Palestina. Ayo, bagaimana? Katanya China komunis, Rusia komunis, komunis memusuhi Islam, kenapa dalam kasus Palestina mereka yang bela? Mana Saudi yang katanya negara paling Islami? Hahaha, sampean nggak bisa jawab, kan?” Ledek Mas david pada Kang Parmin.
“Kata siapa China bantu? Kata siapa Rusia bantu Palestina? Hoax itu. Justru Arab Saudi yang memberi donasi tersebar untuk masyarakat Palestina. Makanya, kalau baca berita jangan dari media komunis. Baca berita dari sumber-sumber terpercaya, yang Islami!” Sanggah Kang Parmin.
“Loh. Sampean yang salah pilih sumber berita. Sumber informasi kok Portal Islam, media abal-abal, sumber berita kok facebook, group whatsapp, hasil copy paste. Makanya baca koran, Cak! Cari koran yang mainstream,” sahut Mas David.
“Yak apa, Ji? Bagaimana yang sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi dunia ini? Karena yang nampak kadang tak sesuai dengan kebenarannya. Kadang Fakta yang disuguhkan bukan fakta yang benar-benar terjadi. Apa ini yang dinamakan masyarakat di era post truth, Ji? Saya sendiri berusaha sekuat tenaga melakukan check and recheck, saya selalu berusaha menjawab pertanyaan what behind the facts sebelum mempercayai sebuah berita. Saya berusaha mencari fakta di balik fakta yang Nampak,” komentar Cak Mamat sambil menikmati rokok Gagak Hitamnya.
Wow, hahaha. Aku terpana pada komentar Cak Mamat. Pernyataan Cak Mamat ini menunjukkan kemampuan Cak Mamat yang sebenarnya. Komentarnya tak kalah dengan seorang pengamat politik paling keren di negeri ini, semisal dengan Burhanuddin Muhtadilah kira-kira. Hahaha.
“Benar sekali yang disampaikan Cak mamat. Kita nggak bisa membaca peristiwa di Palestina dengan hanya mengandalkan simpang siurnya informasi yang bertebaran di medsos. Kita memang harus belajar banyak tentang konflik di sana. Konflik di sana itu bukan konflik biasa, tapi ini konflik tentang banyak hal. Konflik antar keyakian, konflik ras, konflik antarnegara, konflik sejarah, konflik ilmu pengetahuan, konflik ekonomi, konflik antar ideologi dan banyak konflik lain yang menyertai konflik di Palestina. Tidak mudah menjelaskan, perlu waktu dan perlu banyak referensi untuk mengurainya lebih detail. Saya sendiri tak punya cukup pengetahuan untuk mengurainya, namun saya pernah dengar dari beberapa teman yang memiliki informasi cukup banyak tentang hal ini,” jawabku.
“Artinya, berita pembantaian di Palestina itu hoax, Ji? Nggak benar?” Tanya Pak Salam.
“Bukan, Pak. Berita itu benar dan benar-benar terjadi. Hanya saja, dalam melihat kejadian ini, kita harus memahami konteksnya, kita harus melihat potret besarnya, sehingga kita tak salah memahami kondisi sebenarnya,” jawabku.
Dr. H. Mohammad Syaeful Bahar, M.Si, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bondowoso, (Foto : Tim Kreatif) |
“Berikut juga apakah kekerasan hanya dilakukan oleh pihak Israel, sedangkan dari kelompok Palestina tidak melakukan kekerasan? Ini perlu diluruskan, dicari informasi yang akurat. Saya pernah dengar, sebenarnya, di kedua belah pihak, baik Israel maupun Palestina ada dua kubu yang bertikai. Yaitu kubu moderat yang menginginkan dan mengupayakan dialog antara Palestina dan Israel, dan kubu radikal, yang mereka berusaha keras menutup pintu dialog dan inginnya konflik diselesaikan dengan cara cepat, yaitu perang. Kubu radikal ini yang selalu memprovokasi agar terus terjadi kekerasan di wilayah Palestina dan Israel,” tambahku.
Lanjut Baca :
- Garis Tuhan
- Esensi Idul Fitri; Antara Bertahan dan Berkembang
- Menjelang Hari Yang Fitri, PAC GP Ansor Tlogosari Berbagi
“Saya juga pernah dengar Gus Dur jadi pengurus Yayasan Shimon Peres, Ji? Bukankah dia pemimpin Israel? Musuh umat Islam. Apa tujuan Gus Dur, ya? Hidden agendanya apa?” Tanya Cak Mamat kembali.
Wow, sekali lagi, pertanyaan Cak Mamat menujukkan kekuatan literasinya. Tukang becak yang keren, hahaha. Sebuah pertanyaan yang tak pernah kudengar dari mahasiswaku sekalipun, hahaha.
“Benar, Cak. Gus Dur pernah bersedia menjadi pengurus Yayasan Sosialnya Shimon Peres, bahkan ketuanya. Yayasan ini didirikan oleh Shimon Peres untuk mengkampanyekan perdamaian dunia. Dia melihat Gus Dur adalah sosok yang tepat untuk mengkampanyekan perdamaian dunia. Shimon Peres ini mantan Presiden Israel. Dia Presiden dari kubu moderat. Kelompok yang menginginkan hubungan Israel dan Palestina terbangun dalam hubungan dialog untuk menciptakan perdamaian di sana. Gus Dur sendiri mau, karena dengan cara itu, Gus Dur merasa bisa memberikan pembelaan pada masyarakat Palestina yang tertindas. Dengan cara itu, Gus Dur dapat menyampaikan pesan damai dari dunia Islam pada para pemimpin Israel. Tentu itu bukan hal mudah, kenapa? Karena upaya Gus Dur itu, bukan hanya ditentang oleh kelompok radikal Israel tapi juga ditentang oleh kelompok radikal di Islam, tak terkecuali kelompok Islam radikal di Indonesia. Padahal tanpa dialog, kekerasan di Palestina tak akan pernah berakhir,” pungkasku.
“Berarti kita harus berkompromi dengan mereka? Para musuh Islam? Kalau itu pilihannya, Islam akan terus diinjak, dilecehkan, kita terus dianggap penakut, dianggap kecil, padahal mereka yang kecil. Apalagi yang ditakutkan, Allah SWT pasti bantu kita. Menurut saya, perang adalah jalan terbaik. Kalau kita kalah, surga menjadi tempat kita, kalau kita menang, insyaallah itu adalah jalan kemuliaan bagi Islam dan umat muslimin di Palestina,” sergah Kang Parmin padaku.
“Dialog itu diajarkan oleh Rasulullah SAW, Kang. Rasulullah SAW memilih menghindari peperangan selama pintu dialog masih ada. Karena dengan dialog itu, sinar Islam akan lebih bercahaya. Dengan dialog, kebenaran Islam lebih mudah diterima. Asal ada situasi yang damai, kebenaran al-Qur’an akan diterima oleh siapa pun. Asal dia punya akal yang waras, pengetahuan yang sehat, pasti, siapa pun dia, akan menerima kebenaran al-Qur’an. Nah, dalam kondisi perang, al-Qur’an tak akan dibaca orang. Kebenaran Islam tak akan dikaji orang. Saya yakin, pilihan Gus Dur untuk bersahabat dengan Shimon Peres dalam rangka itu untuk membuka dialog dengan kelompok Israel moderat itu di saat dialog dengan kelompok Islam Moderat di kubu Palestina tertutup. Maka, Gus Dur hadir untuk menjadi jembatan antara Palestina moderat dan Israel moderat. Suatu posisi yang sangat strategis. Sayangnya, pilihan Gus Dur itu tak dipahami kebanyakan orang,” sahutku sambil tertawa ringan.
Penulis : Dr. H. Mohammad Syaeful Bahar, M.Si, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bondowoso
Editor : Muhlas
Donatur tetap wartanu.com |