Ilustrasi warga Nahdliyyin, (Foto : Tim Kreatif) |
Tidak sampai di situ, model keislamannya yang dipandang mampu menterjamahkan sikap keislaman yang rahmatan lil ‘alamin membuat nilai-nilai yang ada di NU kemudian diadopsi oleh beberapa kelompok masyarakat Islam di beberapa negara di dunia, seperti NUA (Nahdlatul Ulama Afganistan) di Afganistan yang didirikan sejak 2013, atau NU Malaysia yang organisasi ini berdiri sendiri namun secara spirit mewarisi nilai-nilai yang tertanam di NU (Indonesia).
Warga NU atau yang lebih keren dikenal dengan istilah Nahdliyin tentunya memiliki corak dan karakter tersendiri dalam beragama. Sebagai masyarakat muslim yang berpegang teguh pada nilai-nilai ke-NU-an yang bertujuan untuk memperjuangkan nilai-nilai keislaman ala Ahlussunnah Wal Jamaah, warga NU memiliki cara tersendiri dalam pengamalan keislamannya.
Nilai-nilai islam ala NU juga diadopsi oleh masyarakat islam dinegara lain, seperti Afganistan, Nahdlatul Ulama Afganistan (NUA), Foto :MusliModerat.com |
1. Memelihara, melestarikan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang menganut pola madzhab emapat; Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali.
2. Mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan
3. Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.
Jadi, NU tidak hanya dalam masalah agama dalam konteks Aswaja, akan tetapi memiliki misi persatuan dan kemaslahatan serta kemajuan bangsa dan martabat manusia.
Baca Juga :
- Catatan Ringan Untuk Ustadz Ihsan Tanjung; Serahkan Covid-19 Pada Ahlinya
- Gus Dur dan Palestina Yang Membara
- Negara Harus Berterima Kasih pada NU dan Muhammadiyah...!!!
Tujuan inilah yang seharusnya ada di masing-masing invidu nahdliyin atau orang NU, yaitu tidak hanya berpikir tentang agama secara keyakinan, akan tetapi juga tentang bagaimana menjaga persatuan dan kemajuan bangsa.
Berbicara bangsa, tentunya tidak hanya terkait dengan kaum muslimin akan tetapi semua masyarakat yang ada di suatu bangsa. Karena suatu bangsa hanya bisa terbangun dengan kesepakatan. Oleh karenanya, ketika Rasulullah SAW mengikat bangsa dengan Piagam Madinah, maka yang menjadi ikatannya adalah perjanjian atau kesepakatan bangsa, bukan menarik-narik aturan ke dalam agama. Akan tetapi, bagaimana kesepatakan itu dapat mewakili seluruh elemen masyarakat yang ada dengan tidak merugikan satu sama lain.
Kita tahu, di tempat NU lahir adalah sebuah negara yang diduduki oleh masyarakat yang majemuk dan plural. Tentunya sikap-sikap kebersamaan untuk mencapai persatuan dan kemajuan bangsa selalu menjadi sikap yang tak terlepas dari setiap nahdliyin (Warga NU). Dengan begitu, seharusnya sikap warga NU akan selalu memperjuangkan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai kebangsaan juga.
Bahkan ketika Pancasila 22 Juni 1945 yang menjadi ikatan sebagai ideologi kebangsaan pada sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” tokoh-tokoh menyetujui untuk menghapus 7 kata (dengan kewajiban mejalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyikapi saudara-saudara sebangsa yang beragama lain.
Dikutip dari NU Online yang di posting pada 3 November 2018 pukul 01.40 WIB. Sebagaimana yang disampaikan oleh Mbah Maimoen, kiai kharismatik NU. Kalau ada pertanyaan siapa warga Nahdlatul Ulama (nahdliyin), jawabnya menurut dahulu kala ada anggota alami dan ada organisasi. Anggota organisasi yaitu yang tercatat menjadi anggota, sedangkan yang alami adalah mereka yang mengikuti para ulama.
Para ulama yang dimaksud di sini sebagaimana tertuang dalam Qonon Asasi, yang tentunya adalah ulama yang yang berhaluan Aswaja, yaitu paham yang dalam bidang Fiqih bermadzhab pada salah satu madzahib al-arbaah, dalam bidang Akidah menganut paham Asyariah dan al-Maturidiah, sementara dalam bidang Tashawwuf bermadzhab pada al-Ghazali dan al-Junaid.
Sebagai manusia, tentunya di NU tidak hanya diajarkan bagaimana hidup beragama atau fokus pada urusan ibadah mahdhah, akan tetapi NU juga fokus dalam bidang-bidang sosial masyarakat dengan pendekatan sikap-sikap khas ke-NU-an yaitu tawasuth dan itidal (moderat, adil dan tidak ekstrim), tasamuh (toleran, lapang dada dan saling pengertian), tawazun (seimbang dalam berhikmat), dan amar maruf nahi munkar.
Lanjut Baca :
- Bentengi Kader dari Paradigma Radikal dan Liberal, PMII Rayon Avicenna Gelar Madrasah Aswaja
- Innalillahi wa innaIlaihi raji'un, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogri Meninggal Dunia
- Resmikan Basmalah, PCNU Bondowoso Gelar Tasyakuran
Keempat hal ini yang kemudian menjadi ciri khas yang tak terpisahkan dari Nahdliyin dalam menyikapi setiap persoalan sosial dalam masyarakat atau berbangsa dan bernegara.
Sementara dalam hal politik, dalam khithtahnya NU tetap memberikan hak-hak politik pada warganya dengan tetap mentaati hukum yang berlaku dan dilindungi oleh undang-undang.
Dari yang penulis sampaikan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang nahdliyin harusnya dalam beragama tidak melepaskan diri dari amaliyah Aswaja sebagaimana di jelaskan dalam Qonon Asasi yang ditulis oleh KH. Hasyim Asyari sebagai salah satu tokoh idelogis NU yang mencoba menterjamahkan nilai-nilai Aswaja dari para ulama salafunas shalih.
Sementara dalam konteks bersosial masyarakat, sikap-sikap tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar maruf nahi munkar menjadi corak yang tidak akan pernah terpisahkan dari nahdliyin.
Adapun dalam persoalan politik, warga NU tidak anti politik justru NU tetap memberikan hak-hak politik kepada warga NU dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh negara sebagai pemegang kekuasaan.
Lalu bagaimana seandainya ada sikap-sikap yang menyimpang dari keempat hal tersebut? Kita doakan aja semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan pertolongan untuk kembali ke jalan yang manut para guru-guru kita di NU.
Penulis : Hamdun, S.Pd.I., Kepala TK An- Nawawi, Tlogosari, Bondowoso
Editor : Muhlas