Al-Ghazali Dari Ber-Karya Hingga Meng-Kritik (Part 3)

Al-Ghazali, Selain ahli dibidang tasawuf beliau juga mumpuni dalam bidang filsafat
Al-Ghazali berpendapat bahwa kebanyakan keyakinan para filsuf dalam metafisika bertentangan dengan kebenaran, yang benar hanya sedikit. Kebanyakan ilmu logika menurut Al-Ghazali berjalan di atas metodologi yang benar, sedang kesalahannya sangat jarang. 

Para filsuf berbeda pendapat dengan ahli kebenaran hanya dalam hal istilah dan penyajian, bukan terkait dengan makna-makna dan tujuan-tujuan ilmu ini. Maka, perlu hendaknya meluruskan metode-metode dalam berargumen

Selanjutnya adalah fisika. Menurut Al-Ghazali, kebenaran (al-haqqi) di dalam ilmu ini bercampur aduk dengan kebathilan. Bahkan yang benar di dalamnya serupa dengan yang salah. Setelah mendeskripsikan pemikiran para filsuf muslim, Al-Ghazali masuk lebih praktis lagi kedalam persoalan-persoalan yang lebih kontroversial yang mengemukakan saat itu. 

Kitabnya, Tahafut al-Falasifah yang menjadi inti kritik Al-Ghazali terhadap para filsuf, memuat dua puluh masalah. Tujuh belas masalah menyangkut persoalan yang wajib dibid’akan dan tiga masalah menyangkut persoalan-persoalan yang wajib dikafirkan.

Dari sekian persoalan ini, Al-Ghazali membagi persoalan pertentangan antara para filsuf dengan para pemikir muslim lainnya terkait dengan tiga kategori persoalan: 

Baca Juga :

Pertama, perbedaan pemahaman tentang bahasa, yang menurut Al-Ghazali persoalan ini tidak perlu dipersoalkan. Seperti penamaan pencipta alam dengan al-jauhar. 

Kedua, perbedaan tentang hal-hal yang tidak terkait dengan persoalan agama dan persoalan pembenaran tentang kenabian dan kerasulan, seperti teori filsuf tentang gerhana bulan. 

Ketiga, persoalan yang terkait dengan hal-hal prinsip dalam agama, seperti pencipta alam, pengetahuan tuhan dan kebinasaan jasad. 

Lebih lanjut, Al-Ghazali memberikan penilaian terhadap pemikiran filsafat. Menurut Al-Ghazali ada tiga kategori nilai pada pemikiran filasafat. Pertama, pemikiran yang bid’ah. Persoalan yang masuk dalam kategori ini berjumlah sekitar tujuh belas masalah. Persoalan-persoalan ini tidak berkaitan dengan hal-hal yang prinsipil dalam agama. 

Kedua, pemikiran filsafat yang harus dipelajari. Karena, ia menjadi salah satu sarana mencapai pemikiran yang benar dan pemikiran ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, yaitu logika. 

Ketiga, pemikiran yang harus dikafirkan, terutama menyangkut persoalan-persoalan yang terkait dengan hal-hal yang prinsipil dalam agama. Persoalan yang terkait dengan ini adalah seperti tentang pegetahuan tuhan, kebaruan alam dalam kekekalan jiwa atau adanya hari kebangkitan.

Dalam pandangan Al-Ghazali, para filsuf berpendapat bahwa tuhan mengetahui sesuatu hanya terkait dengan hal-hal yang bersifat universal. Terhadap hal-hal partikural perbuatan manusia tuhan tidak mengetahuinya. 

Menurut Al-Ghazali pandangan ini demikian benar-benar salah dan membuat pengetahuanNya menjadi terbatas. Dalam pandangan Al-Ghazali, para ulama islam telah menyepakati bahwa Allah mengetahui setiap sesuatu. Setiap yang ada adalah lahir berkat kehendak tuhan, dan apapun yang ada dialam ini senantiasa ada karena kehendakNya. Dia mengetahui semua yang ada di alam ini. Karena sesuatu yang dikehendaki pasti diketahui olehNya.

Begitu pula dengan kebaruan alam. Menurut pandangan para filsuf, sebagaimana dilansir Al-Ghazali, alam ini bersifat Qadim. Kendati yang di qadim dalam pandangan mereka dalam arti esensi bukan terkait persoalan waktu. Secara esensial, alam ini telah ada sebelum diaktualkan kedalam bentuk konkret dan keberadaannya pada waktu itu bersifat potensial. Sehingga, pada akhirnya tuhan mengatakan “Kun” (jadilah). Maka, ia menampakkan diri secara aktual sebagaimana keadaanya sekarang. 

Kemudian, yang terakhir adalah terkait dengan kebangkitan jasad. Apakah jasad itu kekal atau tidak? Dan, apakah yang bangkit dialam kebangkitan besok jasadnya atau jiwanya?. Menurut para filsuf, jiwa adalah kekal dan jasad bakal hancur tanpa bisa bangkit kembali. Menurut Al-Ghazali jasadlah yang akan bangkit kelak hari kebangkitan.

Berdasarkan dari tiga hal inilah, Al-Ghazali kemudian memberikan penilaian “rancu” (tahafut) atas pemikiran para filsuf lantaran ketiganya telah ditetapkan secara normatif dalam al-Quran dan merupakan prinsip dasar syari’ah. 

Dalam pandangan Al-Ghazali, pemikiran para filsuf bertentangan dengan syari’ah. Karena mereka telah menyingkirkan ajaran-ajaran syari’ah, terutama prinsip dasar syari’ah. Pada akhirnya, filsafat mendapat label bid’ah dan sesat, sedangkan para filsuf mendapat label kafir dan zindik. 

Filsafat termarjinalkan dalam tradisi islam. Berbanding terbalik dengan status filsafat, ilmu-ilmu agama mendapat angin segar dikalangan masyarakat, dan Al-Ghazali tampil dengan label baru sebagai pembela agama dengan kitabnya, Ihya’ Ulumuddin.

Hal lain yang di kritik Al-Ghazali adalah ta’limiyah bathiniyah yang awalnya merupakan kelompok oposisi yang lahir bersamaan dengan kekalahan Ali bin Abi Thalib dari Mu’awiyah. Para pendukung Ali mendirikan sektenya sendiri yang disebut syi’ah.

Ada banyak aliran syi’ah, dan diantara ajarannya adalah ta’limiyah bathiniyah. Kelompok ini meyakini kebenaran agama hanya bisa ditemukan pada imam yang suci (imam maksum). Indra dan akal tidak bisa menemukan kebenaran. Hanya melalui imam maksum, kebenaran yang diajarkan tuhan di dalam kitab sucinya bisa ditemukan. 

Al-Ghazali menilai, kelompok ta’limiyah bathiniyah mengklaim diri sebagai pemilik satu-satunya ta’lim dan penerima hak istimewa pengetahuan yang diperoleh dari imam yang ma’sum. Al-Ghazali menepis pandangan kelompok ta’limiyah bathiniyah ini. 

Menurut Al-Ghazali, ajaran rasul tidak hanya ditemukan pada imam yang ma’sum yang diyakni mewakili rasul, tetapi juga terletak didalam diri setiap orang yang bersih hatinya. Orang yang bersih hatinya itu berasal dari mereka yang mendalami ajaran tasawuf. 

Akhirnya, setelah malang melintir melakukan kritik terhadap berbagai aliran pemikiran islam kala itu. Juga, mencari kelebihan dan kelemahan masing-masing aliran tersebut. Al-Ghazali akhirnya menemukan suatu kelezatan (Dzauq) dalam tasawuf. Al-Ghazali menilai, hanya kelompok sufilah yang benar-benar berjalan di jalan Allah. Sufi yang dimaksud adalah bukan hanya orang-orang yang hanya ahli berkata-kata, tapi metode yang ditempuh olehnya adalah metode praktis dan teoritis (amal dan ilmu) sekaligus.

Lanjut Baca :

Tasawuf menurut Al-Ghazali adalah bertauhid dengan sungguh. Karna pangkal dari seluruh ajaran tasawuf adalah tauhid. Bagi Imam Al-Ghazali, bahasan tauhid adalah lautan yang tak bertepi. Untuk memudahkannya, sang hujjatul islam itu membagi tauhid ke dalam empat peringkat.

Pertama adalah orang yang lisannya mengucapkan kalimat laa ilaha illaallah, tapi hatinya melupakannya bahkan mengingkarinya. Iman yang seperti ini adalah keimanan yang pura-pura karena tak tembus ke dalam hati. Al-Ghazali menyebut ini sebagai tauhidnya orang-orang munafik. 

Kedua, kalimat tauhid yang diucapkan lisannya dan dibenarkan oleh hatinya. Pembenaran di hati ini menyelamatkan yang bersangkutan dari siksa di Akhirat. Inilah tauhid dan keyakinan orang awam.

Ketiga, melihat Tuhan Yang Satu pada segala sesuatu. Dengan perkataan lain, ia menyaksikan Allah ketika menyaksikan sesuatu. Inilah maqam al-muqarrabin (kedudukan orang-orang yang dekat kepada Allah). 

Keempat bahwa wujud ini hanya satu, yaitu Allah. Dalam peringkat ini, seseorang sudah tak melihat dirinya, karena yang terlihat hanya Allah. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai al-fana’ fi al-tauhid, yang menurut Imam al-Ghazali, tauhid keempat ini sebagai tauhid puncak yang diintroduksi Ibn Al-Mansur Al-Hallaj.


Kontributor : Salman Akif Faylasuf, Kader Aktif PMII Unuja sekaligus Santri Aktif PP. Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Editor : Haris

Lebih baru Lebih lama