Doa dan Ketulusan Mak Yam

Suasana Kantin Mak Yam, di UIN Sunan Ampel Surabaya, (Foto : Tim Kreatif)
Tahun 1999 ayah saya wafat. Saat itu saya semester 5 di Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel (UIN Sunan Ampel). Tentu saja saya terpukul hebat, saya benar-benar kehilangan sosok ayah. 

Beruntung saat itu semua kakak saya sudah menetas, sudah menikah dan bekerja, sehingga urusan bekal selama kuliah tak sampai terganggu. Namun, sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya, saya sekuat tenaga berusaha mandiri.

Allah SWT mendukung keputusan saya. Saya dipertemukan dengan seorang teman, namanya Abd. Asiz anak Sampang-Madura, kakak kelas di Fakultas Syariah. Dia ingin berjuang juga untuk mandiri. Dia tak ingin merepotkan keluarganya di kampung. Dia ingin membuka usaha, bisnis kecil-kecilan di Surabaya.

Dia diskusi dengan saya. Akhirnya, kami sepakat jual buku di kampus. Dia yang modali, saya yang menentukan buku apa yang harus dijual dan tentunya sesuai dengan kebutuhan pasar, kebutuhan mahasiswa IAIN Sunan Ampel saat itu.

Saya juga yang bertugas melakukan lobi ke pihak kampus untuk mendapatkan ijin berjualan. Dari berjualan buku itu, dua keuntungan sekaligus saya dapatkan. Pertama, saya bisa bertahan hidup di Surabaya dengan cara bekerja. Kedua, saya dapat dengan mudah baca buku tanpa bersusah payah ke perpustakaan kampus.

Jadilah kami jualan buku di kampus, tempatnya di depan kantin. Sebagian besar mahasiswa mau pun dosen-dosen mengira lapak buku ini milik saya, padahal Asizlah pemiliknya, saya hanya karyawan.

Baca Juga :

Tapi anggapan itu bisa dimaklumi, karena saya lebih dikenal dibandingkan Asiz. Saya aktivis, Asiz bukan, saya pernah jadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) Syariah, bahkan pada saat saya jualan buku bersama Asiz itu, saya sedang menjabat sebagai Ketua Kongres Mahasiswa Institute (KMI) IAIN Sunan Ampel.

Saat itulah saya mulai dekat dengan Mak Yam. Awalnya hanya kenal biasa. Tapi, sejak saya ngepos di lapak buku, saya semakin dekat dengan Mak Yam dan suaminya, Abah Arif. Setiap hari, saya dan Asiz sarapan dan kadang makan sore di warung Mak Yam. 

Tiap hari saya merasakan nikmatnya pecel dan telur dadar Mak Yam. Berikut juga, tiap hari saya ketagihan sambal dan es teh manis Mak Yam yang sangat menggoda.

Doa dan Ketulusan Mak Yam

Lambat laun saya menjadi ketagihan, ketagihan masakan Mak Yam dan ketagihan wejangan-wejangan Mak Yam. Dari Mak Yam dan suaminya saya banyak tahu kerasnya hidup di Surabaya, tentang perjuangan untuk membesarkan anak-anak di kota besar, tentang bagaimana cara berteman yang baik di kota rantau serta tentang bagaimana mengingat dan menjaga hubungan batin dengan kampung halaman.

“Meskipun kamu hidup di Surabaya, kamu harus tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga di Bondowoso. Kamu jangan berubah jadi orang Surabaya. Tetaplah jadi orang desa, jadi orang Bondowoso,” Begitu salah satu wejangan Mak Yam yang saya ingat hingga sekarang.

Hampir setiap hari saya mendapat wejangan dari Mak Yam dan Abah Arif. Salah satu wejangan Mak Yam yang sulit saya ikuti hingga sekarang adalah belajar Bahasa Jawa Kromo.

“Kamu hidup di masyarakat Jawa, seharusnya kamu bisa Bahasa Jawa Kromo. Jangan pakai Bahasa Indonesia, apalagi pakai Bahasa Jawa Ngoko, kurang sopan,” katanya.

Baca Juga :

Di saat luang, saat pembeli mulai sepi, saya biasanya bercengkerama dengan beliau berdua. Karena tiap hari bersama, lambat laun saya dan Asiz semakin dekat ke Mak Yam. 

Hubungan kami tak lagi hubungan antara penjual dan pembeli, tapi sudah lebih dari itu. Semakin dekat, layaknya hubungan bu lek dan ponaan.

Hubungan itu tak hanya saya yang rasakan, semua mantan aktivis UIN Sunan Ampel juga merasakan hal yang sama. Bahkan, di antara mereka, merasakan hubungan yang lebih dekat dibandingkan saya. 

Para aktivis itu, bukan hanya merasakan hubugan bu lek dan ponaan, tapi lebih dari itu, sudah seperti hubungan ibu dan anak.

Selain wejangan, hal lain yang sering juga saya dapatkan dari Mak Yam adalah doa, untaian doa. “Semoga kamu kabul hajat, semoga kamu bisa jadi dosen di sini, mengajar di sini, semoga Asiz jadi kiai.” Ini salah satu doa yang paling sering diucapkan Mak Yam. Doa yang terlalu jauh dari bayangan kami saat itu.

Saya tak pernah terpikir jadi dosen. Asiz, sekalipun memang memiliki darah kiai—pesantren, juga tak membayangkan akan jadi kiai kampung di Sampang sana. Dia ingin hidup di Surabaya, jadi bisnisman.

Ternyata, doa-doa Mak Yam dan Abah Arif itu terkabul. Saya mengabdi di UIN Sunan Ampel dan Asiz jadi kiai di kampung halamannya.

Doa-doa Mak Yam tak terhenti setelah saya tamat kuliah di UIN Sunan Ampel. Doa itu terus mengalir hingga saya ditakdir mengabdi di UIN Sunan Ampel. Setiap saya makan, terutama sarapan, ketika pembeli masih sepi, doa-doa dan wejangan dari Mak Yam dan Abah Arif terus mengalir, tentu bukan hanya untuk saya sendiri, tapi juga untuk anak istri saya.

Ketika saya sakit, sekitar tahun 2018-2019, hampir dua tahun saya berjuang melawan virus yang menyerang liver (hati), saya juga merasakan kehangatan doa Mak Yam. Sekalipun Mak Yam tak pernah datang menjenguk, baik selama saya dirawat di Graha Amerta Surabaya maupun selama saya recovery di rumah, di Bondowoso.

Namun, doa dan support Mak Yam selalu datang. Melalui teman-teman dari UIN Sunan Ampel yang datang menjenguk, selalu ada salam Mak Yam, selalu ada doa Mak Yam yang dititipkan.

Ketika pertama kali saya injakkan kaki kembali ke kampus pasca sakit panjang, saya sempatkan ke kantin, ketemu Mak Yam dan Abah Arif. Nampak sekali wajah bahagia Mak Yam saat itu. Saya diajak duduk berdekatan dan didoakan agar terus sehat dan berumur panjang.

“Alhamdulillah. Kamu nampak kurus, tapi kamu sehat ya? Semoga terus sehat, panjang umur.” Begitu salah satu kata-kata dan doa Mak Yam yang saya ingat.

“Waktu kamu sakit, Har, saya juga sakit. Kata dokter Typus, lambung saya bermasalah, makanya saya kurus juga kan?”

Hal lain yang selalu saya ingat dari Mak Yam adalah ketulusan. Bukan hanya saya yang merasakan, hampir semua aktivis UIN Sunan Ampel saat itu juga merasakan ketulusan Mak Yam. 

Merasakan hubungan dekat dengan Mak Yam. Ketulusan melayani dan kesabaran dalam menghadapi berbagai tipikal mahasiswa UIN Sunan Ampel. Terutama para aktivis yang menjadi pelanggan setia Mak Yam.

Semua tahu, bahwa para aktivis adalah kelompok mahasiswa yang suka diskusi, nyangkruk, berdebat dan berlama-lama di kantin. Kadang, segelas kopi bisa dikroyok empat orang aktivis. Durasinya pun tak pendek, bukan hitungan menit, tapi jam.

Bisa berjam-jam para aktivis itu menguasai meja dan kursi kantin Mak Yam. Tentu saja, jika memakai hitungan bisnis, perilaku ini merugikan ke Mak Yam. Posisi istiqamah, tak mau pindah dan tak mau beranjak dari tempat biasanya. 

Tentu saja hal itu mengganggu pelanggan lain yang berniat menikmati masakan Mak Yam. Akibatnya, tak jarang di antara calon pembeli itu harus mengalihkan pilihan ke kantin lain.

Secangkir kopi untuk 4 empat orang dengan durasi waktu dua hingga tiga jam sungguh menjengkelkan. Tapi, itu semua tak membuat Mak Yam dan Abah Arif marah, mereka berdua santai, sabar. Paling-paling jika harus menegur, Mak Yam dan Abah Arif hanya mempersilahkan para aktivis itu untuk sedikit geser agar tak menutupi akses jalan pembeli lain.

Sikap santai dan santun Mak Yam ini, mungkin tak bisa ditiru oleh pengelola kantin lain di UIN Sunan Ampel. Hanya Mak Yam yang bisa, hanya Mak Yam yang sanggup terus sabar dengan perilaku menjengkelkan para aktivis itu.

Suatu ketika saya beranikan diri bertanya. Kenapa Mak Yam membiarkan para aktivis itu berlama-lama di kantin dan cenderung mengganggu pelanggan Mak Yam yang lain. Dengan santai Mak Yam menjawab, “Biarkan saja, mereka tak sama dengan mahasiswa yang lain. Mereka punya tanggung jawab lebih besar dibanding mahasiswa yang hanya datang untuk kuliah saja. Mereka itu butuh tempat nyangkruk, butuh tempat yang enak untuk berdiskusi.”

Tapi saya tetap tak tega. Untuk membantu Mak Yam, akhirnya saya dan Asiz memberanikan diri menyiapkan kloso, karpet di dekat lapak buku kami sebagai alternatif tempat nyangkruknya para aktivis itu.

Meskipun tak semua aktivis akhirnya nyangkruk di luar kantin Mak Yam, paling tidak upaya saya dan Asiz sedikit berhasil mengurai kegaduhan dan kerumunan para aktivis di kantin Mak Yam.

Bukan hanya sabar mendapati perilaku para aktivis yang ‘tak tahu diri’ itu. Mak Yam juga sangat sabar melayani permintaan aneh-aneh para aktivis. Misal permintaan tambah lauk, tambah sambal (kalau ini saya juga sering lakukan) dan kadang juga tambah nasi.

Semua dilayani. Tidak ada raut cemberut atau bahkan marah dari Mak Yam. Paling-paling Mak Yam langsung nyeplos, “Wes rek, mesakne pelanggan leone.” Ungkapan yang tulus, apa adanya, bukan didasari marah, atau pertimbangan untung-rugi.

Benar-benar ungkapan yang mewakili hubungan rekat dan lekat, persis dengan ungkapan atau larangan seorang ibu yang tak ingin anaknya berebut lauk di meja makan rumah.

Belum lagi tradisi ngutang para aktivis. Hanya di warung Mak Yam, di kantin Mak Yam saja tradisi itu bisa bertahan lama, dari generasi ke generasi. Hampir semua cerita para aktivis, baik yang jauh di atas saya dan yang jauh di bawah saya punya cerita serupa, ngutang ke Mak Yam.

Ada yang sempat membayar, namun juga ada yang melenggang pergi karena tak kuat bayar. Ada yang membayar sebelum lulus kuliah, ada juga yang bayar setelah puluhan tahun lulus dari UIN Sunan Ampel.

Pernah saya tanyakan ke Mak Yam hal tersebut. Dengan polos dan tulus Mak Yam menjawab, “Kalau mereka kuat bayar saya senang, tapi kalau mereka gak kuat saya ikhlaskan, tapi tetap saya doakan. Semoga mereka berhasil dan nanti kembali ke kantin ini untuk bisa bayar dan bertemu saya kembali.”


Penulis    : Dr. H. Mohammad Syaeful Bahar, M.Si, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bondowoso

Editor        : Muhlas

Lebih baru Lebih lama