Ilustrasi, kemesraan Sang Kiai dengan mistisme |
Tidak hanya paham terhadap ilmu keagamaan saja, namun juga memberikan kontribusi terhadap masyarakat di bidang keagamaaan, pendidikan dan sekaligus sebagai tempat pemecahan masalah yang ada di masyarakat.
Umumnya, sosok kiai erat kaitannya dengan pesantren dan santri. Di kalangan masyarakat, orang yang disebut sebagai kiai, benar–benar menjadi panutan utama, model tersendiri dan contoh dari kebaikan moral.
Sosok kiai bagi masyarakat diakui memiliki kelebihan. Bukan saja mengenai keilmuan Islam, melainkan keahlian dalam mencari solusi dari masalah kehidupan. Pun tidak sedikit masyarakat yang mempercayai sosok kiai memiliki tuah tersendiri.
Baca Juga :
- Ikhtiar dan Tawakkal; Sebuah Perjuangan Melawan Sakit
- Doa Akhir dan Awal Tahun Hijriyah; Tata Cara dan Fadhilahnya
- Kisah Heroik Tiga Bersahabat
Salah satu contoh peranan kiai yang tidak hanya di bidang keilmuan Islam misalnya adalah suwu’ bagi masyarakat yang sakit atau ilmu–ilmu kekebalan. Baik berupa rapalan mau pun Jimat yang biasanya diijazahkan kepada santrinya.
Sebagai sosok pemegang ortodoksi Islam, kiai mengajarkan Islam yang normatif. Ia ketat dalam memegang hukum Islam, segala bentuk fatwa didasarkan kepada rujukan primer yaitu al-Qur’an dan Hadist. Akan tetapi, hubungan kiai dan mistisme sangat unik untuk ditelaah.
Bagi sebagian kalangan Islam, tentunya hal tersebut memunculkan paradoks. Idealnya, kiai tidak mungkin bersinggungan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadist. Karena Jimat, suwu’, ilmu kekebalan dan sejenisnya memiliki konotasi negatif bahkan bagi penggunanya dapat dihukumi murtad.
Lantas bagaimana jika kiai melakukan praktik tersebut? Situasi seperti ini mungkin bisa berkonotasi sebaliknya. Kiai seakan–akan membongkar stigma negatif terhadap ilmu hikmah, baik itu berupa Rajah (Jimat) atau mantra–mantra tertentu.
Hubungan mesra antara kiai dengan ilmu mistik tentunya tidak dapat dipisahkan begitu saja. Hal tersebut tidak pernah lepas dari tradisi literasi khas pesantren yang sampai saat ini masih dilaksanakan.
Banyak sekali ragam kitab–kitab sakti yang menjadi rujukan di beberapa pesantren, seperti kitab al-Aufaq karya Imam al-Ghazali, Syam al-Ma’arif karya Syeikh Ahmad Ali bin Yusuf al–Buni dan kitab al–Mujarabat al–Kubra karya Syeikh Ahmad ad-Dhairabi dan banyak lagi kitab–kitab hikmah lainnya.
Tidak hanya itu, ilmu–ilmu hikmah yang dimiliki oleh kiai juga diperoleh atau mendapat ijazah dari gurunya yang sebelumnya—biasanya, dilaksanakan dengan tirakat yang sangat ketat.
Selain tradisi literasi dari beberapa karya tulis kitab–kitab hikmah, hubungan mesra antara kiai dengan ilmu mistik juga tidak lepas dari pengaruh syiar agama Islam dan perjuangan ulama terdahulu.
Salah satu bukti yang dapat diambil adalah peranan tarekat Rifa’iyah dengan debusnya, dimana waktu itu memang digunakan untuk menandingi aliran Bhairawa (Agus Sunyoto, 2017:413).
Beberapa kisah heroik kiai ketika masa pra-kemerdekaan sampai masa pemberontakan PKI salah satu contoh dengan adanya ijazah ilmu kekebalan kepada pejuang Hisbullah dan Banser pada waktu itu.
Hubungan kiai dengan Jimat, Suwu’, dan amalan–amalan hikmah merupakan salah satu bukti nyata perjumpaan doktrin beragama dengan tradisi lokal.
Baca Juga : Mudah Dihafal, Beginilah Doa Ketua PSNU Bondowoso Saat Menjalani Isoman
Hal tersebut merupakan metode dakwah akulturasi yang dilakukan oleh para ulama terdahulu dengan pendekatan yang santun tanpa menghilangkan kearifan lokal yang sudah dikenal oleh masyarakat waktu itu.
Penulis : Achmad Taufik, Founder Padepokan Janoko, Sulek-Tlogosari-Bondowoso
Editor : Muhlas