Tajhin Sorah ; Sejarah dan Manfaatnya

Ilustrasi Tajhin Sorah, (Foto : Tim Kreatif)
‘Teeng, teeng, teeng’ Suara bel itu berbunyi nyaring sekali. Siswa-siswi yang menikmati pelajaran di ruang kelas sekolah langsung keluar dan bergegas memenuhi panggilan bel.

Pengurus Pesantren menghimbau santri yang sudah tamat sekolah untuk memasuki musalla. Guru-guru di bawah naungan Yayasan Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng ikut menghimbau para siswa-siswinya ke musalla.

Semua berkumpul rapi di musalla, jajaran keluarga Pesantren dan Kepala Sekolah berada di depan. Tajhin Sorah mulai dihidangkan kepada semua orang yang berada di musalla, baik siswa-siswi maupun guru-guru. Tradisi ini sering dilakukan pada bulan Muharram atau kata orang Madura sering disebut dengan bulan Sorah.

Baca Juga :

Pada bulan Sorah inilah tradisi Atajhin Sorah dilaksanakan. Adanya Tajhin Sorah ini bermula pada masanya Nabi Nuh AS. Ada yang mengatakan pada masanya Nabi Sulaiman AS dan ada pula yang mengatakan pada masanya Nabi Muhammad SAW ketika menyambut datangnya bulan Muharram atau bulan Sorah.

Pendapat yang mengatakan pada masanya Nabi Nuh AS dan pada masanya Nabi Muhammad SAW memiliki kemiripan, yakni sama-sama menggunakan sisa-sisa bahan makanan.

Namun, saya cenderung kepada pendapat yang mengatakan pada masanya Nabi Nuh AS. Sebab, mungkin saja apa yang pernah dilakukan Nabi Nuh AS diadopsi atau dicontoh oleh Nabi Muhammad SAW ketika menyambut bulan Muharram dengan mengeluarkan apa saja yang dimiliki termasuk sisa-sisa bahan makanan.

Bedanya, dahulu pada masanya Nabi Nuh AS tidak ada nama bulan seperti bulan Muharram atau bulan Sorah ini. Hal tersebut dilakukan tentu sebagai tanda rasa syukur kepada Allah SWT, bukan alasan lainnya.

Ketika masa paceklik melanda, umat Nabi Nuh AS sangat bersyukur pada Allah SWT karena masih menemukan sisa bahan makanan yang dapat diolah dan dimakan bersama.

Pembuatannya dilakukan secara bersama-sama karena memang bahan yang digunakan adalah hasil sisa-sisa bahan makanan yang dikumpulkan oleh umat Nabi Nuh AS. Sebagai tanda syukur pada Allah SWT, umat Nabi Nuh AS mengolah sisa bahan makanan itu kemudian bersama-sama berdzikir pada Allah SWT.

Rasa kekeluargaan tentu terjalin dengan erat. Bagaimana tidak? Proses pembuatannya, dzikir, dan makan dilakukan secara bersama-sama dan di tempat yang sama. Bentuk rasa syukur itulah yang oleh orang Madura dinamakan dengan tradisi Atajhin Sorah, kemudian terus dilestarikan hingga saat ini.

Masyarakat Madura tidak pernah mempertanyakan apa manfaat dilaksanakannya tradisi itu. Bagi mereka, tradisi yang pernah dilakukan oleh para leluhurnya harus terus dilestarikan.

Masyarakat yang seperti itu disebut dengan masyarakat Abangan. Hal itu saya ketahui saat pengasuh menyampaikan sedikit pemaparan tentang tradisi Atjahin Sorah di musalla.

Pelaksanaan tradisi Atajhin Sorah selalu dilaksanakan pada pagi hari menjelang siang di pesantren. Prosesi pelaksanaannya diawali dengan pembacaan Tahlil, kemudian di tutup dengan do’a.

Semua khidmat mengikuti tradisi ini di musalla. Pengasuh Pesantren selalu menyampaikan bahwa mulai tanggal 1 Muharram masyarakat selalu melaksanakan yang namanya tradisi Atajhin Sorah.

Pada masa Nabi Nuh AS, proses pembuatan Tajhin Sorah dilakukan secara bersama-sama dan di tempat yang sama. Di pesantren juga demikian, keluarga pesantren berkumpul di dapur pengasuh untuk membuat Tajhin Sorah.

Namun, masyarakat pedesaan tidak melakukan hal itu. Proses pembuatannya dilakukan di rumah masing-masing. Akan tetapi, walaupun proses pembuatannya di rumah masing-masing, masyarakat pedesaan tetap menjaga rasa kekeluargaan dengan cara ter-ater (silaturahmi) pada tetangganya kemudian saling berbagi Tajhin Sorah yang dibuat di rumahnya masing-masing.

Apakah tradisi Atajhin Sorah ini penting untuk dilestarikan? Tentu sangat penting untuk dilestarikan walaupun tradisi ini dianggap bid’ah oleh sebagian orang. Kalau tradisi ini adalah bid’ah, bukan berarti bid’ah madzmumah melainkan bid’ah hasanah.

Baca Juga :

Prosesi pelaksanaannya saja diawali dengan Tahlil, yang mana dalam bacaan Tahlil tersebut terdapat bacaan-bacaan yang mengagungkan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Apalagi masyarakat pedesaan setelah membuat Tajhin Sorah saling berbagi dengan mengunjungi rumah tetangganya. Tentu ini bernilai positif.

Dikatakan memiliki nilai negatif, bagi saya tidak, justru tradisi ini bernilai positif, sangat positif dan patut untuk dijaga dan dilestarikan. Dengan tradisi ini, kita akan meluangkan waktu untuk sekadar berkumpul bersama keluarga menikmati Tajhin Sorah. Pun saling berbagi dengan tetangga.

Bukankah tolong menolong dan sedekah sebagaimana yang terjadi ketika pelaksanaan tradisi Atajhin Sorah diperintahkan oleh Allah SWT?

Dengan tradisi ini pula, masyarakat akan semakin mempererat tali persaudaraan (ukhuwah). Baik ukhuwah Islamiyah maupun ukhuwah wathoniyah. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak melestarikan tradisi ini karena pada kenyataannya, tradisi ini sangat bernilai positif bukan bernilai negatif.


Penulis: Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Lebih baru Lebih lama