ZoyaPatel

Wadah Rezeki yang Dikesampingkan Part 1

Mumbai

Ilustrasi Seorang hamba bermunajat kepada Allah SWT (Foto : Tim Kreatif)
Hufts…



Lelahnya pikiran dan tenaga
membuatku sedikit mengeluh. Efeknya bukan hanya tentang kepenatan, tapi juga
kemalasan yang mengobrak-abrik semangat menulisku.



Pulang dari Bondowoso langsung
kurebahkan badanku ke kasur untuk sejenak mengobati kepenatan. Banyaknya
pikiran kuobati langsung dengan salat. Ya, salat. Tidak ada yang bisa kulakukan
selain itu. Selain dengan mentafakkuri diri sendiri, mendirikan salat juga
menjadi cara ampuh mengembalikan ketenangan hati dan pikiran.



“Sudah salat Maghrib, Cong?” Kata
bapak.



“Enggeh sudah,” kataku berlalu ke
kamar.

Baca Juga :



Kemeja kugantung di belakang
pintu. Bapak dan ibu asyik menonton televisi. Entah apa yang ditontonnya aku tak
memperdulikan, karena memang tidak terlalu suka menonton televisi. Yang
kulakukan hanya di kamar mengotak-atik handphone dan laptop. Bolak-balik buka
chat dan status WhatsApp.



Bosan tentu. Tapi, perhari ini
yang membuatku tidak bosan adalah seorang perempuan yang tidak lama lagi akan
kusunting sebagai pendamping hidup. Insyaallah, hehehe. Semoga Allah SWT
memperlancar segala urusan ini. Aamiin. Aamiin-kan, ya. Hehehe.



Bantal guling menemaniku di
kamar. Ia pendamping setiaku saat pulang dari pesantren atau sekadar mampir
sepulang kuliah. Aku menyukainya, tapi aku lebih suka menulis walau tidak
seperti dulu. Ya, dulu tiap hari satu tulisan, tapi sekarang berbeda. Hampir
sebulan lebih laptop kubiarkan terbuka begitu saja tanpa aku isi dengan
tulisan-tulisan hasil bacaan, diskusi dan pengalaman.



Selain bantal guling, yang setia
menemaniku adalah gawai. Lengket sekali di tanganku seakan tidak ingin pergi.
Kelengketannya di tanganku seperti yang kubilang di atas, karena perempuan.
Hehehe. Selalu asyik, menggugah seleraku untuk terus menggenggamnya.



Dari saking asyiknya ditemani
bantal guling dan gawai, tiba-tiba bantal berbentuk persegi panjang mendarat
keras di bahuku. Kutengok siapa yang melakukannya, ternyata bapakku. Di
sampingnya ada ibu ikut melihat aku yang dilempari bantal oleh bapak.



“Bangun!” Perintah bapakku.



Aku diam tak berkutik.
Perintahnya langsung kulaksanakan.



“Sana salat Isya’! Jangan main HP
terus,” perintahnya lagi.



Gawai kubiarkan begitu saja di
kasurku. Tetap bercahaya menampilkan aplikasi WhatsApp yang kubuka sebelum
pergi ke kamar mandi untuk wudlu’ kemudian menghadap Sang Pencipta.
Dzikir-dzikir tetap kubaca layaknya di pesantren. Bagiku, apa pun yang biasa
dibaca di pesantren usai salat harus tetap dilaksanakan. Selain mengamalkan ilmu,
juga mengharap barokah masyayikh.

Di pesantrenku ada bacaan tertentu yang langsung
diijazahkan kepada santri oleh al-Marhum al-Maghfurlah KH. Ahmad Bahruji,
pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Tumpeng keempat. Ijazah itu sudah
kubuktikan sendiri khasiatnya, makanya tiap usai salat selalu kubaca.

Tak lama kemudian akupun beranjak dari kamar ku, karena kupikir bertempat di satu tempat pasti
membosankan, makanya usai salat tak kuhinggapi lagi kamarku. Lebih nyaman
memang jika di kamar, tapi aku tidak mau mendapat lemparan bantal lagi dari
bapakku. Ke kamar aku hanya mengambil gawai kemudian rebahan di depan televisi.



Film IPA dan IPS menjadi
tontonanku sekarang. Bapak dan ibuku berada di samping kananku, ikut menonton.
Karena masih penat aku memilih rebahan, sedang bapak dan ibu duduk selonjoran.
Mula-mulanya kulihat reaksi keduanya biasa-biasa saja. Lalu …



“Kamu sudah dewasa. Ingat
baik-baik salatmu,” kata bapakku.



Aku diam. Mata dan badan
kuhadapkan ke bapak, mendengarkan petuahnya.

Bersambung ......


Penulis : Muhlas 

Editor : Gufron

Ahmedabad