Wadah Rezeki yang Dikesampingkan Part 3
| Ilustrasi, seorang santri sedang melaksanakan salat, (Foto : Tim Kreatif) |
bapak masih terlelap di depan televisi. Aku ke kamar mandi, berwudlu’ kemudian
menunaikan salat. Di kamar mandi aku teringat pada petuah bapak semalam. Apakah
aku memang benar-benar siap tidak seatap lagi dengan bapak dan ibu? Pikirku
sambil membasuh wajah dengan air.
Aku merasa ragu dengan kesiapanku
untuk melangkah ke hidup yang lebih serius, menikah. Walau masih lama tapi
otakku sudah berpikiran seperti itu. Apa yang kulakukan sekarang, apa yang
kumiliki sekarang, apakah cukup dijadikan modal hidup di tanah orang?
Wallahu a’lam bis shawab.
Baca Juga :
- Wadah Rezeki yang Dikesampingkan Part 1
- Wadah Rezeki yang Dikesampingkan Part 2
- Semarak Hari Santri Nasioanal, Ini yang Dilakukan PAR NU Kampung Haji
Aku langsung salat agar pikiranku
tenang dan tidak lagi berpikiran tentang hal itu karena aku sendiri memang
belum menginginkan. Usai salat kubaca dzikir-dzikir yang biasa kubaca di
pondok. Waktu subuh ini kumanfaatkan dengan baik, karena menurut sepengetahuanku
waktu subuh adalah waktu yang pas untuk mengadu kepada Allah SWT dan memulai
aktifitas apa pun.
Laptop kubuka dan menampilkan
gambar wartanu.com, wadah menulis yang menjadi penyemangat selera menulisku.
Aku mulai menulis petuah bapak semalam tentang wadah rezeki yang tidak disadari
oleh banyak orang sehingga banyak yang melupakannya.
Saat mulai menulis pun aku
teringat pada salah satu gus di pondokku. Ia sering berpesan pada santri untuk
menjaga salat, khususnya salat Subuh. Sama seperti yang disampaikan bapakku
semalam, bahwa salat adalah kunci segalanya, termasuk soal rezeki.
“Kalau mau rezekinya lancar, maka
jagalah salat kalian, khususnya salat Subuh. Meski hanya 2 rakaat tapi
keutamaannya banyak. Kalau tidak percaya buktikan sendiri,” kata gus saat
mengisi kajian kitab al-Jaami’us Shaghiir tiap usai salat Subuh.
Subuh berlalu. Mataku tak mampu
berlama-lama di depan laptop. Kututup saja laptopku walau tulisan belum
selesai. Mau bagaimana lagi? Bukankah memaksakan diri itu tidak baik? Ya sudah,
daripada menulis dengan terpaksa mending dilanjutkan bangun tidur, kan? Hehehe.
* * *
“Bangun! Bangun!” Kata ibu
menarik-narik kakiku.
Kubuka mata sekejap melihat jam
di gawaiku. Angka 06.26 terpampang jelas di depan mataku. Ibu menyuruhku untuk
segera mandi lalu mengantarkan adikku ke sekolah, SDN Taman 2. Menuju kamar
mandi aku ingat sesuatu, bahwa jam 08.00 ada jadwal mengisi materi di
Sekretariat PMII Rayon Avicenna.
Aku bergegas dan menyirami badan
dengan air ala kadarnya. Sengaja tidak berlama-lama agar segera mengantarkan
adik dan bisa belajar kembali sebelum mengisi materi. Pukul 07.36 aku
berangkat. Disiplin waktu adalah salah satu visi misi ketua rayonku, makanya
aku berangkat lebih awal.
5 menit sebelum pukul 08.00 aku
tiba di Sekretariat PMII Rayon Avicenna. Kutengok di kamar-kamar, ternyata
masih banyak yang tidur nyenyak. Hanya satu orang yang sudah bangun, Nyin
namanya.
“Loh. Kok belum ada orang sama
sekali?” Kataku di grup WhatsApp.
“Masih di jalan, Kak,” jawab
salah seorang.
“Otw, Kak,” jawab yang lainnya.
Kutunggu sampai setengah jam.
Tepat jam 08.30 aku mulai menjelaskan materi walaupun yang datang hanya dua
puluhan orang. Tidak masalah dimulai dulu, pikirku. Bagi yang telat, resiko
ditanggung diri sendiri, telat mengikuti materi. Suruh siapa telat?
Panjang lebar kujelaskan berbagai
hak dan kewajiban sebagai anggota PMII. Kurang lebih sekitar 2 jam aku
berbasa-basi membahas PO dan AD/ART PMII. Penat? Tidak. Mungkin ini karena
kuatnya cinta pada PMII sehingga waktu 2 jam bukan apa-apa.
Sore hari setelah menunaikan
salat Ashar aku dipanggil senior untuk menghadap ke rumahnya. Tidak tahu petuah
apa yang akan kudapatkan dari senior ini. Aku hanya disuruh menghadap dan
langsung menyambangi rumahnya dengan sekali tarikan gas motor.
“Ini, Lek,” katanya menyerahkan
bingkisan. Kubuka ternyata isinya gawai. Aku tercengang memperhatikan isi
bingkisan.
“Terima kasih, Cak. Ini sangat
membantu saya, karena memang HP yang saya pegang bukan milik saya, Cak, tapi
Adik saya,” jawabku.
“Iya, Lek. Ke depan niatkan
menulis untuk bekerja,” pesannya padaku. Aku bersyukur sekali dengan bingkisan
yang kupegang erat di tanganku kini. Dengan bingkisan itu, semangat menulisku
bangkit kembali apalagi setelah mendengarkan program-program pengembangan wartanu.com
ke depan.
Rezeki memang sudah ditakar,
tinggal bagaimana kita mau berusaha menjemputnya. Setelah di rumah aku
sampaikan pada bapak dan ibuku bahwa aku dapat bingkisan gawai. Mereka
bersyukur dan senang karena sebentar lagi adikku tidak akan menangis lagi
karena gawainya sering kugunakan.
Baca Juga : Fiqih Sehari-hari
“Alhamdulillah, Nak. Itu salah
satu rezeki yang Allah SWT berikan lewat perantara hamba-Nya. Ingat, tetap jaga
salat karena salat adalah wadah rezeki. Jika kamu lalai, maka rezekimu akan
terhambat. Ingat itu baik-baik,” kata bapak.
Alhamdulillaah, wasyukuurillaah,
wani’maatillaah, walaa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adzim.
Jaga salat, rezeki akan merapat.
Penulis : Muhlas
Editor : Gufron