Pandangan Fiqih Terhadap PMK Pada Ternak

Ilustrasi, Foto : Istimewa
Sejak awal bulan Mei kemarin total 1.247 ekor sapi dan ternak lainya  di Jawa Timur terserang penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Apthae Epizooticae. 

Mengakibatkan banyak ternak sapi terjangkit virus akan mengalami berbagai gejala yang tidak jarang berujung pada kematian, hal ini berakibat turunya minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging sapi dan beralih kepada daging ayam dan kambing, karena menurut mereka dikhawatirkan penyakit ini juga akan berdampak kepada manusia.

Baca Juga :

Hal ini berakibat menurunya harga daging sapi dan kambing secara drastis di pasaran, terlebih tidak sedikit dari ternak sapi yang terkena penyakit mengalami kematian di bulan-bulan ini, sehingga banyak peternak yang hampir gulung tikar padahal sudah mencapai perayaan Idul Adha kurban yang pada biasanya adalah waktu laris penjualan ternak untuk dijadikan kurban.

Masyarakat menginginkan kurban yang dilakukan mereka adalah menggunakan sapi dengan kualitas terbaik. Kendati demikian masalah kurban, yang berpenyakit saat ini menyebabkan animo masyarakat berkurban dengan sapi menjadu menurun, terlebih kasus kematian sapi akibat PMK yang kian meningkat. 

Lalu bagaimana Fiqih memandang kasus ternak yang terkena PMK ini?

Secara garis besar, ulama sepakat bahwa salah satu sarat utama dari hewan yang diperbolehkan untuk dijadikan hewan kurban adalah harus mencapai usia minimum, dan dalam keadaan sehat bebas dari berbagai aib dan penyakit. Aib yang dimaksud adalah aib yang dapat mengurangi terhadap kualitas hewan kurban tersebut, seperti buta, buntung, dan lain-semacamnya.

Sedangkan dalam permasalahan penyakit ulama masih berbeda pendapat. Di dalam kitab al Hawi al Kabir, Imam Hasan al Mawardi memberikan pendapat tafsil di dalam hal ini:

فصل : ومنها المريضة البين مرضها, الأنّ مرضها مع الخبر قد اوكس ثمنه وافسد لحمه  وأضعف راعيته. وهو على ضربان

Fasal : sebagian dari penyakit tersebut adalah penyakit yang nampak sakitnya bersama adanya hadis yang menyebutkan hal itu dapat mengurangi harga hewan, merusak dagingnya, dan memperburuk keadaanya. Hal ini ada terdapat 2 macam:

أحدهما ما ظهر أثاره في اللحم كالجرب  والبثور والقروح, فقليله وكثيره سواء في المنع من الأضحية ,  وسواء كان زواله مرجواً او غير مرجو لوجوده حال الذبح.

والضرب الثاني ما لم تظهر أثاره كالمرض الكادي لشدة حر او برد فان كان كثيرا منع وان كان يسير فقد أشار ألشافعي في القديم الى حظره وفي الجديد الى جوازه.(الامام حسن الماوردي, الحلوي الكبير, دار الكتب العلمية, ج 15, ص 81,)

Macam yang pertama adalah sesuatu (penyakit) yang perngaruhnya nampak pada daging seperti kadas,  bisul, dan cacar sedikit atau banuaknya adalah sama saja dalam ketidakbolehnya untuk dijadikan hewan kurban, baik hilangnya penyakit tersebut bisa diharapkan sembuh maupun tidak, karena disebabkan adanya penyakit tersebut di waktu penyembelihan.

Bagian yang kedua adalah penyakit yang tidak nampak pengaruhnya, seperti demam yang disebabkan oleh cuaca dingin atau panas yang sangat. 

Oleh karena itu, apabila penyakit tersebut adalah banyak maka dilarang, namun bila sedikit terjadi tafsil, Imam Syafi’i pada Qoul Qodim berpendapat keharamannya, sedangkan pada Qoul Jadid menyatakan boleh. (Imam Hasan al Mawardi, al Hawi al Kabir, Juz 15 hal 81, Darul Kutub Ilmiah).

Baca Juga :

Mengutip dari Kompas.com (07,07,2022), sapi dan hewan ternak yang terkena penyakit PMK dapat diketahui dari beberapa gejala yang menjadi ciri-cirinya. Dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB University, Supratikno menjelaskan terdapat ciri-ciri sapi dan hewan ternak yang terinfeksi penyakit PMK: 

  1. Demam hingga 39-41 derajat Celcius; 
  2. Pembengkakan kelenjar, terutama di daerah mandibula/rahang bawah Terdapat luka di sekitar mulut, moncong, gusi, kuku, hingga ambing atau payudara; 
  3. Produksi air liur tinggi;
  4. Hewan ternak kesulitan menelan makanan Hewan tidak mau makan;
  5. Hewan bernapas dengan cepat dan kesulitan berdiri Luka pada kuku mengakibatkan kuku ternak terlepas.

Secara garis besar, pengaruh atau efek di atas sudah digolongkan terhadap pendapat Imam Mawardi pada tasfil penyakit yang pertama. Disebabkan oleh pengaruh-pengaruh penyakit yang terjadi pada hewan sudah nampak jelas dari fisik luarnya. 

Sehingga, diharapkan masyarakat apabila memang meragukan terhadap kualitas sapi kurban yang sesuai dengan syarat-syaratnya, maka diperbolehkan untuk berpindah menggunakan jenis hewan kurban yang lain, semisal kambing atau domba.

Kendati diharamkan, ternak tersebut untuk dijadikan sebagai hewan kurban Idul Adha, masyarakat masih bisa untuk merawatnya hingga sembuh karena batasan keharaman tersebut hanya pada saat waktu sekitar penyembelihan di hari raya sekarang, sehingga hewan tersebut telah sembuh dari penyakit dan aib-aibnya di tahun depan maka diperbolehkan.


Penulis: Wildan Miftahussurur, Mahasantri Ma’had Aly Nurul Qarnain yang beralamat di desa Wonosuko, Tamanan, Bondowoso serta aktif sebagai Kontributor di PCNU Jember dan NU Online Jawa Timur.

Editor : Gufron

Lebih baru Lebih lama