Tiga sahabat berkumpul bersama Ra Gulam, (Foto : Tim Kreatif) |
Perjalanan saya dan Sabil jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan sahabat-sahabat saya yang lain. Selain karena kami sama-sama putra Bondowoso, juga karena kami bersama-sama dalam kurun waktu yang tak pendek, bahkan sangat panjang.
Bayangkan, sejak tahun 1990, yaitu sejak belajar bersama-sama di MTs Nurul Jadid—sejak di pondok hingga sekarang, kami terus bersama. Saksi hidupnya adalah Gus Ghulam. Kami bertiga seperti trio wek-wek. Hahaha. Ke barat ke timur bersama-sama. Saling melengkapi dan menasehati.
Baca Juga :
- Mudah Dihafal, Beginilah Doa Ketua PSNU Bondowoso Saat Menjalani Isoman
- Kabar Duka, Sekjen PBNU Era Gus Dur, KH Abdul Ghaffar Rahman Wafat
- Gandeng Demisioner Ketua PCI IPNU Korea Selatan, PAC IPNU-IPPNU Prajekan Adakan Ngobrol Virtual
Kami cocok, padahal kami sangat berbeda. Watak berbeda, keluarga juga berbeda—Ghulam putra kiai, dan tentu, tipe perempuan kami pun berbeda. Hahaha.
Kerjaan di pondok hanya buat puisi dan tidur. Tidurnya kelas sultan, keren. Dari subuh bisa tembus subuh lagi. Hahaha. Tapi, cerdasnya di atas rata-rata. Takdir pun mengantarkan dia menjadi Kiai, jadi Ketua Tanfidziyah PCNU Kencong. Mungkin saat ini adalah ketua PCNU termuda di Jawa Timur.
Tentu saya sangat bangga padanya. Kepadanya saya biasanya bertanya, terutama pertanyaan-pertanyaan kelas berat yang saya tak bisa menjawab.
Setelah di Nurul Jadid, Ghulam ke Sarang, jadi santri Mbah Moen, seorang Waliyullah. Setelah di Sarang, Ra Ghulam kembali ke Nurul Jadid untuk kuliah S1. S2-nya ke Libya meskipun tak sampai kelar.