KH. Abdul Wahid Hasyim, (Foto : Istimewa) |
Namun, jasa tersebut kerap tak seiring dengan political will para pemimpin negara dalam memperjuangkan kesejahteraan ekonomi mereka pada setiap kebijakan politik.
Dalam hal ini, kegelisahan muncul dalam diri KH Abdul Wahid Hasyim yang pada saat itu menyampaikan kegelisahannya kepada KH Saifuddin Zuhri melalui perbincangan hangat pada akhir bulan Juni 1946.
Baca Juga :
- Cegah Wabah PMK, PW LPPNU Jatim Bantu Desinfektan, Vitamin dan Obat-obatan untuk Peternak
- PSNU Pagar Nusa Babat Lamongan Borong Medali di Tournament Pencak Silat Se-Nusantara
- PR PMII Nurut Taqwa Akan Gelar RTAR Ke-II, Berikut Tahapannya
Kala itu, terjadi sebuah perbincangan panjang dari kedua pejuang kemerdekaan di kediaman mertua KH Saifuddin Zuhri Purworejo. Keduanya berasal dari kalangan pesantren yang banyak membahas bagaimana perjuangan umat Muslim Parakan yang hanya bermodalkan bambu runcing.
KH Saifuddin Zuhri melontarkan pertanyaan singkat kepada KH Wahid Hasyim, “Bagaimana penilaian para pemimpin kita (tentang perjuangan rakyat Parakan)?,”
Lalu KH Wahid Hasyim seketika menjawab, “selamanya ada yang positif dan negatif. Yang pro kita itu pada akhirnya hanyalah kita. Yang bersikap positif, semoga mereka konsekuen hingga akhirnya tetap memiliki pendirian bahwa Islam telah mempertaruhkan nyawanya dalam menegakkan kemerdekaan dan dalam meratakan cita-cita nasional. Adakan yang lebih mahal dibanding dengan jawab?” (red; KH Zaifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 2013:384)
Menurutnya, yang harus dijaga ialah jangan sampai umat Islam tidak memperoleh hak-hak mereka secara politis. Jika perang sudah usai, jika fase perjuangan hidup dan mati telah dilewati, tentu orang akan memulai mengisi kemerdekaan tersebut dengan usaha-usaha, kreativitas dan inovasi untuk membangun bangsa dan negara.
Kiai Wahid Hasyim juga berharap besar, saham umat Islam pada masa paling sulit itu tidak dilupakan. Sebab, terlalu dianggap lumrahnya manusia mudah melupakan kawan dan membuang sifat solidaritas apabila kepentingan politis, ekonomis maupun kepentingan golongan mulai menonjol.
‘kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun’, bahwa tiap golongan selalu mengutamakan golongannya sendiri sehingga kepentingan golongan lain, walaupun telah menjadi haknya, boleh diabaikan.
Di masa itu, meskipun umat Islam telah terwadahi dalam organisasi NU, Muhammadiyah, PSII, MIAI, Masyumi. Mereka tetap berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Begitu juga dalam merumuskan dasar negara, perwakilan umat Islam akomodatif terhadap umat agama lain akhirnya tidak memaksakan tujuh kata pada Piagam Jakarta. Mengapa demikian? Karena saat itu bangsa Indonesia membutuhkan persatuan dan kesatuan.
Baca Juga :
- Muhammadiyah Kehilangan Masjid
- Kiai As'ad Syamsul Arifin dan Gairah Literasi Santri di masanya
- Negara Harus Berterima Kasih Kepada NU dan Muhammadiyah
Perlu kita ketahui bersama Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Ir. Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, Mohammad Hatta mengungkapkan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia.
Apa yang menjadi pemicu terjadinya hal tersebut? tidak lain, jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya (maknanya). Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan. Maka, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga tak lain ayah Gus Dur. Menurut Gus Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila.
Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikkan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.
Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Lebih dari itu, Gus Wahid yang juga Menteri Agama Republik Indonesia pada Orde Lama (Masa jabatan 30 September 1945 – 14 November 1945 itu juga menegaskan bahwa “umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia”. (*)
Sumber: NU Online
Editor : Haris